Program sinetron di stasiun televisi adalah sebuah upaya
memvisualkan beragam cerita, baik kisah nyata, fiktif, maupun kisah-kisah
sejarah masa lalu. Skenario dan akting menjadi komponen penting dalam sinetron.
Skenario dengan model apapun menuntut akting maksimal dari pemeran. Seorang
aktris muslimah yang diplot memerankan pejuang Nasrani dalam sebuah sinetron,
semisal, kadang mereka harus melepas jilbab, bahkan mencaci ‘Nabi Muhammad’,
menginjak-injak ‘mushaf’ dan perbuatan biadab lainnya. Dari sinilah muncul
problematika, dan hal ini tidak lepas dari adanya persimpangan penilaian dunia
intertainment dan agama, masing-masing memiliki ‘urf’ berbeda.
Pertanyaan
a.Apakah dihukumi murtad, aktris muslimah memerankan lakon yang menuntut dia melakukan hal-hal seperti di atas?
b.Bagaimana hukum menampakkan aurat bagi seorang aktris karena tuntutan skenario?
Jawaban A:a.Apakah dihukumi murtad, aktris muslimah memerankan lakon yang menuntut dia melakukan hal-hal seperti di atas?
b.Bagaimana hukum menampakkan aurat bagi seorang aktris karena tuntutan skenario?
Khilaf (ulama berbeda pendapat-red):
1.Apabila akting yang diperankan merupakan ucapan atau perbuatan yang masih
ihtimal antara mukaffir dan tidak, maka dihukumi murtad jika ada qashdu (motif)
atau qarinah istihza’ (indikasi pelecehan). Dan tidak murtad jika tidak ada
qashdu atau qarinah istihza’, namun tetap berdosa apabila masih memungkinkan
menggunakan cara-cara yang tidak ihtimal.
2.Apabila berupa perbuatan yang jelas-jelas mukaffir, maka dihukumi murtad.
Referensi:
1.Tuhfah Al-Muhtâj vol. IX hal. 106-107
2.Hasyiyyataa Qalyubi Wa Umairah vol. IV hal. 175-177
3.Fathul Allam vol. IV hal. 538
4.Asy Syarqawi Ala at Tahrir vol. II hal. 387-388
5.Kamus Ash Shihhah Vol. II Hal. 1687
6.Hasyiyyah Al Jamal Vol. V Hal. 122
7.At Takfir Hukmuhu Wa Dlawabithuhu Wal Ghuluwwu Fihi Vol. I Hal. 40
8.Hasyiyyah I’anatut Thalibin Vol. IV Hal. 152
9.Is’ad ar-Rafîq vol. I hal. 61
Jawaban
B:
Haram
Referensi:
1.Is’ad ar-Rafîq vol. II hal. 66
2.al Fiqhu ala Madzahibil Arba’ah vol.4 hal. 192
3.Mughnil Mughtaj vol. IV hal. 217
Tidak ada komentar:
Posting Komentar