tvOne: Ibukota RI Diusulkan Pindah ke Palangkaraya - Nasional
Wacana pemindahan ibukota negara mendapat tanggapan positif dari anggota Komisi II DPR RI, untuk mencari kota lain menjadi ibukota negara. Palangkaraya Kalimantan menjadi daerah yang diusulkan menggantikan jakarta sebagai Ibukota RI.
"Jakarta sudah tidak layak lagi menjadi ibu kota. Kota bisnis dan kota pemerintahan tidak dapat dipadukan di Jakarta," kata anggota Komisi II DPR RI, Arif Wibowodi gedung DPR RI Jakarta, Jumat (30/7)
Kendati pemindahan itu masih sebatas wacana, namun menurut beberapa anggota komisi II DPR menganggap ide itu merupakan hal yang ideal, mengingat Jakarta dinilai sudah tidak kondusif untuk dijadikan Ibukota negara.
Hal senada pun dikemukakan Ganjar Pranowo yang menyatakan, Palangkaraya di Kalimantan adalah daerah aman gempa karena tidak masuk ring of fire dan tidak ada gunung berapi di sana. " karena letaknya yang dekat dengan perbatasan pun bagus dari sisi pertahanan, karena daerah perbatasan akan menjadi lebih diperhatikan," jelas Ganjar.
Menanggapi hal tersebut, Ketua DPR Marzuki Alie telah berniat untuk terus mendorong ide pemindahan ibu kota. "Ini memang domain pemerintah, tapi DPR akan tetap mendorong (realisasinya). Lebih baik ibu kota pindah ke Kalimantan Tengah," ujar Marzuki usai Rapat Paripurna Penutupan Masa Sidang IV DPR. (VIVAnews.com)
Sebaik-baik ucapan adalah Kitab Allah SWT, sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Rasulullah SAW, sebaik-baiknya perkara adalah tengah-tenga, sejelek-jeleknya perkara adalah perkara baru tanpa filterisasi, setiap perkara baru tanpa filterisasi adalah bid'ah, bid'ah adalah kesesatan, kesesatan tempatnya di neraka.
Senin, 02 Agustus 2010
Minggu, 01 Agustus 2010
IJTIHAD
Tulisan ini akan mendahulukan masalah ijtihad, baru kemudian menyoroti masalah taqlid. Minimal ada tiga alasan kenapa lebih mendahulukan ijtihad daripada taqlid.
1. Sekedar mengikuti kelaziman, dimana dalam buku-buku Ushul Fiqh, masalah ijtihad selalu lebih dahulu dibicarakan sebelum masalah taqlid.
2. Taqlid tidak akan ada tanpa ijtihad. Dengan demikian seseorang hanya dibenarkan bertaqlid kepada mujtahid yang mu'tabar.
3. Persoalan taqlid akan lebih mudah dipahami jika seseorang telah memahami persoalan ijtihad.
Dalam tulisan ini saya hanya akan bicara tentang beberapa aspek ijtihad dan taqlid yang dipandang penting; mengingat kedua masalah itu amat sering diperbincangkan, disamping
banyaknya buku yang mengupas masalah tersebut yang mudah kita temukan.
PENGERTIAN IJTIHAD
Menurut bahasa, ijtihad berarti "pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit." Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata "ijtihad" dipergunakan untuk
melakukan sesuatu yang mudah/ringan.
Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya dengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang orang.
Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah "penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitabullah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan qiyas (ma'qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari'ah- yang terkenal dengan "mashlahat."
Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, ada dua kelompok ahli ushul flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas dan kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan definisi. Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.
Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dzann terhadap sesuatu hukum syara' (hukum Islam).
Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar'i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i'tiqadi (aqidah) atau
hukum khuluqi
3. Status hukum syar'i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dzanni.
Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas, maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini komentator Jam'u 'l-Jawami' (Jalaluddin al-Mahally) menegaskan, "yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu'. (Jam'u'l-Jawami', Juz II, hal. 379).
Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah.Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh,salah seorang tokoh mu'tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu (ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensi pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal (sesat). Lantaran itulah Jumhur 'ulama' telah bersepakat bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Tidak dibidang akidah, apalagi di jaman sekarang banyak orang ber-ijtihad dalam bidang aqidah sehingga ia mempunyai konsep sendiri tentang Allah, dan ia yakin akan hasil ijtihadnya sehingga meremehkan manusia lain yang beriman secara taklid saja. Semoga Allah SWT mengampuni mereka, Amin
MEDAN IJTIHAD
Di atas telah ditegaskan bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum. Lalu, hukum Islam yang mana saja yang mungkinuntuk di-ijtihad-i? Adakah hal itu berlaku di dunia hukum
(hukum Islam) secara mutlak?
Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa rahmat manakala ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul ijtihad). Lapangan atau medan dimana ijtihad dapat memainkan peranannya adalah:
1. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh nash al-Qur'an atau Sunnah secara jelas.
2. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum diijma'i oleh ulama atau aimamatu 'l-mujtahidin.
3. Nash-nash Dhanny dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan.
4. Hukum Islam yang ma'qulu 'l-ma'na/ta'aqquly (kausalitas hukumnya/'illat-nya dapat diketahui mujtahid).
Jadi, kalau kita akan melakukan reaktualisasi hukum Islam, disinilah seharusnya kita melakukan terobosan-terobosan baru. Apabila ini yang kita lakukan dan kita memang telah memenuhi persyaratannya maka pantaslah kita dianggap sebagai mujtahid di abad modern ini yang akan didukung semua pihak. Sebaliknya ulama telah bersepakat bahwa ijtihad tidak berlaku atau tidak dibenarkan pada:
1. Hukum Islam yang telah ditegaskan nash al-Qur'an atau Sunnah yang statusnya qath'iy (ahkamun manshushah), yang dalam istilah ushul fiqih dikenal dengan syari'ah atau "ma'ulima min al-din bi al-dlarurah."
Atas dasar itu maka muncullah ketentuan, "Tidak berlaku ijtihad pada masalah-masalah hukum yang ditentukan berdasarkan nash yang status dalalah-nya qath'i dan tegas."
Bila kita telaah, kaidah itulah yang menghambat aspirasi sementara kalangan yang hendak merombak hukum-hukum Islam qath'i seperti hukum kewarisan al-Qur'an.
2. Hukum Islam yang telah diijma'i ulama.
3. Hukum Islam yang bersifat ta'abbudy/ghairu ma'quli 'lma'na (yang kausalitas hukumnya/'illat-nya tidak dapat dicerna dan diketahui mujtahid).
Disamping ijtihad tidak berlaku atau tidak mungkin dilakukan pada ketiga macam hukum Islam di atas, demikian juga ijtihad akan gugur dengan sendirinya apabila hasil ijtihad itu berlawanan dengan nash. Hal ini sejalan dengan kaidah,"Tidak ada ijtihad dalam melawan nash."
PERBEDAAN YANG DITOLERIR
Ijtihad dilegalisasi bahkan sangat dianjurkan oleh Islam. Banyak ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi yang menyinggung masalah ini. Islam bukan saja memberi legalitas ijtihad, akan tetapi juga mentolerir adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad. Hal ini antara lain diketahui dari Hadits Nabi yang artinya,
"Apabila seorang hakim akan memutuskan perkara, lalu ia melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenarannya). Jika hakim akan memutuskan perkara, dan ia berijtihad, kemudian hasil ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala (pahala ijtihadnya)." (Riwayat BukhariMuslim).
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/1498
1. Sekedar mengikuti kelaziman, dimana dalam buku-buku Ushul Fiqh, masalah ijtihad selalu lebih dahulu dibicarakan sebelum masalah taqlid.
2. Taqlid tidak akan ada tanpa ijtihad. Dengan demikian seseorang hanya dibenarkan bertaqlid kepada mujtahid yang mu'tabar.
3. Persoalan taqlid akan lebih mudah dipahami jika seseorang telah memahami persoalan ijtihad.
Dalam tulisan ini saya hanya akan bicara tentang beberapa aspek ijtihad dan taqlid yang dipandang penting; mengingat kedua masalah itu amat sering diperbincangkan, disamping
banyaknya buku yang mengupas masalah tersebut yang mudah kita temukan.
PENGERTIAN IJTIHAD
Menurut bahasa, ijtihad berarti "pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit." Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata "ijtihad" dipergunakan untuk
melakukan sesuatu yang mudah/ringan.
Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya dengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang orang.
Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah "penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitabullah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan qiyas (ma'qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari'ah- yang terkenal dengan "mashlahat."
Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, ada dua kelompok ahli ushul flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas dan kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan definisi. Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.
Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dzann terhadap sesuatu hukum syara' (hukum Islam).
Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar'i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i'tiqadi (aqidah) atau
hukum khuluqi
3. Status hukum syar'i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dzanni.
Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas, maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini komentator Jam'u 'l-Jawami' (Jalaluddin al-Mahally) menegaskan, "yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu'. (Jam'u'l-Jawami', Juz II, hal. 379).
Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah.Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh,salah seorang tokoh mu'tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu (ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensi pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal (sesat). Lantaran itulah Jumhur 'ulama' telah bersepakat bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Tidak dibidang akidah, apalagi di jaman sekarang banyak orang ber-ijtihad dalam bidang aqidah sehingga ia mempunyai konsep sendiri tentang Allah, dan ia yakin akan hasil ijtihadnya sehingga meremehkan manusia lain yang beriman secara taklid saja. Semoga Allah SWT mengampuni mereka, Amin
MEDAN IJTIHAD
Di atas telah ditegaskan bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum. Lalu, hukum Islam yang mana saja yang mungkinuntuk di-ijtihad-i? Adakah hal itu berlaku di dunia hukum
(hukum Islam) secara mutlak?
Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa rahmat manakala ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul ijtihad). Lapangan atau medan dimana ijtihad dapat memainkan peranannya adalah:
1. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh nash al-Qur'an atau Sunnah secara jelas.
2. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum diijma'i oleh ulama atau aimamatu 'l-mujtahidin.
3. Nash-nash Dhanny dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan.
4. Hukum Islam yang ma'qulu 'l-ma'na/ta'aqquly (kausalitas hukumnya/'illat-nya dapat diketahui mujtahid).
Jadi, kalau kita akan melakukan reaktualisasi hukum Islam, disinilah seharusnya kita melakukan terobosan-terobosan baru. Apabila ini yang kita lakukan dan kita memang telah memenuhi persyaratannya maka pantaslah kita dianggap sebagai mujtahid di abad modern ini yang akan didukung semua pihak. Sebaliknya ulama telah bersepakat bahwa ijtihad tidak berlaku atau tidak dibenarkan pada:
1. Hukum Islam yang telah ditegaskan nash al-Qur'an atau Sunnah yang statusnya qath'iy (ahkamun manshushah), yang dalam istilah ushul fiqih dikenal dengan syari'ah atau "ma'ulima min al-din bi al-dlarurah."
Atas dasar itu maka muncullah ketentuan, "Tidak berlaku ijtihad pada masalah-masalah hukum yang ditentukan berdasarkan nash yang status dalalah-nya qath'i dan tegas."
Bila kita telaah, kaidah itulah yang menghambat aspirasi sementara kalangan yang hendak merombak hukum-hukum Islam qath'i seperti hukum kewarisan al-Qur'an.
2. Hukum Islam yang telah diijma'i ulama.
3. Hukum Islam yang bersifat ta'abbudy/ghairu ma'quli 'lma'na (yang kausalitas hukumnya/'illat-nya tidak dapat dicerna dan diketahui mujtahid).
Disamping ijtihad tidak berlaku atau tidak mungkin dilakukan pada ketiga macam hukum Islam di atas, demikian juga ijtihad akan gugur dengan sendirinya apabila hasil ijtihad itu berlawanan dengan nash. Hal ini sejalan dengan kaidah,"Tidak ada ijtihad dalam melawan nash."
PERBEDAAN YANG DITOLERIR
Ijtihad dilegalisasi bahkan sangat dianjurkan oleh Islam. Banyak ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi yang menyinggung masalah ini. Islam bukan saja memberi legalitas ijtihad, akan tetapi juga mentolerir adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad. Hal ini antara lain diketahui dari Hadits Nabi yang artinya,
"Apabila seorang hakim akan memutuskan perkara, lalu ia melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenarannya). Jika hakim akan memutuskan perkara, dan ia berijtihad, kemudian hasil ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala (pahala ijtihadnya)." (Riwayat BukhariMuslim).
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/1498
Langganan:
Postingan (Atom)