Hampir setahun sudah sejak aku menyelesaikan pendidikan Strata Satu aku
tinggal sebuah kota; sebuah kota kecil yang dikelilingi laut. Kalau melihat
SDM, daerah ini sepertinya memang diuntungkan. Diuntungkan bukan berarti
mempunyai Sumber Daya Alam yang melimpah, melainkan sebaliknya, daerah ini
dibangun dengan menguras banyak SDA dari daerah-daerah penghasil minyak dan SDA
dari daerah lain yang masih diwilayah otoritasnya, sedangkan Kota B sendiri
bisa dikatakan tak mempunyai hasil bumi apa-apa.
Dermaga yang gedung-gedung perkantoran yang mirip dengan gedung setingkat provinsi atau mungkin diatasnya, semuanya dibangun dari uang rakyat dari daerah lain yang masih wilayah ini. Perusahaan-perusahaan juga tak ada di kota ini, bangunannya hanya dipenuhi gedung-gedung perkantoran pemerintahan dan rumah-rumah mewah yang dibangun diatas penderitaan rakyat wilayah lain. Mungkin saja seandainya tidak dijadikan kota pemerintahan aku rasa pulau ini tidak akan berpenghuni. Sekali lagi sungguh beruntung kota ini.
Dermaga yang gedung-gedung perkantoran yang mirip dengan gedung setingkat provinsi atau mungkin diatasnya, semuanya dibangun dari uang rakyat dari daerah lain yang masih wilayah ini. Perusahaan-perusahaan juga tak ada di kota ini, bangunannya hanya dipenuhi gedung-gedung perkantoran pemerintahan dan rumah-rumah mewah yang dibangun diatas penderitaan rakyat wilayah lain. Mungkin saja seandainya tidak dijadikan kota pemerintahan aku rasa pulau ini tidak akan berpenghuni. Sekali lagi sungguh beruntung kota ini.
Di kota ini aku bekerja menjadi tenaga honorer disebuah institusi
Kementerian, personilnya rata-rata merupakan tenaga Pegawai Negeri Sipil yang
bersifat vertikal. Ruangan yang aku tempati merupakan seksi yang paling sibuk
di kantor ini, karena harus mengurusi seambrek permasalahan pendidikan Agama
Islam di dua wilayah pemerintahn baru. Yaah, cukup melelahkan memang bekerja di
ruangan ini, namun banyak hal yang aku dapat disini, aku jadi tahu permasalahan
dunia pendidikan Islam dan tetek bengeknya, konflik antar pergawai, mental
pegawai, karekteristik kepribadiannya, ambisi mereka dalam meraup kesempatan
dan keuntungan. Datang ke kantor hanya untuk mengisi absen, mengikuti apel,
terus duduk-duduk santai kemudian pulang. Pantesan saja negeri ini susah untuk
bangkit dari keterpurukan karena mental-mental birokrasinya selalu diliputi
dengan ambisi meraih keuntungan atas jabatan yang disandangnya bukan murni
sebuah pengabdian diri untuk kemajuan bangsa.
Banyak peristiwa yang sering membuat hati mangkel, kelakuan dan
kebijakannya sering dilandasi dengan uang, uang dan uang. Mereka tidak all-out dalam mengerjakan sesuatu sekiranya
pekerjaan tersebut tidak begitu menguntungkan buat diirnya. Sebaliknya jika
pekerjaan atau proyek yang bisa menjadi ladang uang maka dengan semangat 45
mereka mengerjakannya walaupun pekerjaan itu dilakukan alakadarnya saja.
Fenomena ini sangat ironis, apalagi dilakukan oleh oknum-oknum yang
bekerja di institusi pemerintahan, kementerian yang bersifat religius, apalagi
kebanyakan mereka notebenenya adalah sarjana-sarjana dan magister Islam.
Bukankah dalam Islam sudah dijelaskan bagaimana memposisikan mental dan
perilaku dalam mengemban sebuah jabatan itu?, bukankah Islam juga menyuruh kita
menafkahi keluarga kita dengan rezeki yang halalan-tayyiban (halal dan baik)? Kalau unsur baik yang
mengandung arti makanan dan minuman yang mengandung kadar gizi yang lengkap
mungkin semua orang sudah tahu dan sudah mengikuti anjuran Allah tersebut, tapi
“halal“ hanya sedikit orang yang mampu melaksanakannya. Kalau ada ungkapan—ini saya
kira sangat menyesatkan—yang mengatakan : “rezeki haram saja susah
apalagi yang halal”. Ungkapan itu hanya untuk orang-orang yang
tipis kadar ketaqwaannya kepada Allah SWT sekaligus pemalas. Ketahuilah, setiap
makhluk hidup ketika hendak ditiupkan ruhnya sudah ditetapkan takdirnya; rezki,
jodoh, hidup dan matinya. Sehingga tidak mungkin Allah menghidupkan makhluk-Nya
kemudian lantas menelantarkannya.
Rezeki itu sendiri menurut Prof. Dr. H.M. Quraisy Shihab, seorang ahli
tafsir dan pemimpin studi Al-Qur’an menafsirkan kata “Arrizki” (rezeki) dengan ungkapan, rezeki adalah sesuatu yang diusahakan dan
memberi manfaat bagi yang mengusahakannya. Pengertian ini mengecualikan setiap
sesuatu yang ia usahakan namun tidak mampu memberikan manfaat baginya dalam
pengertian rezeki. Hal tersebut tidak dikatakan rezekinya namun bisa jadi
rezeki orang lain. Hal diatas juga tidak mengecualikan sesuatu yang tidak ia
usahakan melainkan bermanfaat baginya, seperti ia diberi uang oleh orang lain
secara tiba-tiba. Ini juga bisa dinamakan rezeki.
Ketekunan keuletan dalam usaha memburu jaminan rezki Allah sebenarnya
sangat didukung dalam Islam. Sebelumnya sebaiknya kita garis bawahi kata jaminan. Apa
yang dimaksud dengan jaminan rezki Allah kepada seluruh makhluk didunia ini?
Jaminan rezki Allah bukan berarti Allah memberikan sesuatu yang siap jadi, siap
pakai atau siap dikonsumsi. Jaminan rezki Allah itu lebih kepada sarana dan motivasi
yang telah anugerahkan kepada Alam dan pribadi mahkluk itu sendiri. Alam raya
yang terhampar luas ini merupakan jaminan dari rezeki Allah. Alam dunia memang
sengaja diciptakan Allah dalam keadaan subur dan mengandung berbagai macam
barang berharga dan hal itu tidak akan ditemukan di planet-planet lain yang
melintas di tata surya kita. Ini maksudnya kita disuruh mengolah dan
mempergunakan sebaik-baiknya sehingga menjadi rezeki yang bermanfaat bagi semua
makhluk. Sedangkan motivasi ingin memenuhi kebutuhan manusia juga termasuk
dalam jaminan Allah. Rasa lapar, rasa haus, perasaan ingin bahagia, semua
merupakan bagian dari jaminan Allah agar supaya makhluk mau bergerak mencari
sesuatu yang berharga untuk dijadikan rezek, tidak diam berpangku tangan, bertopangkan
dagu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar