Tarekat Tijaniyah didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin
Muhammad bin al-Mukhtar at-Tijani (1737-1815), salah seorang tokoh dari gerakan
"Neosufisme". Ciri dari gerakan ini ialah karena penolakannya
terhadap sisi eksatik dan metafisis sufisme dan lebih menyukai pengalaman
secara ketat ketentuan-ketentuan syari'at dan berupaya sekuat tenaga untuk
menyatu dengan ruh Nabi Muhammad SAW sebagai ganti untuk menyatu dengan Tuhan.
At-Tijani dilahirkan pada tahun 1150/1737 di 'Ain Madi,
bagian selatan Aljazair. Sejak umur tujuh tahun dia sudah dapat menghafal
al-Quran dan giat mempelajari ilmu-ilmu keislaman lain, sehingga pada usianya
yang masih muda dia sudah menjadi guru. Dia mulai bergaul dengan para sufi pada
usia 21 tahun. Pada tahun 1176, dia melanjutkan belajar ke Abyad untuk beberapa
tahun. Setelah itu, dia kembali ke tanah kelahirannya. Pada tahun 1181, dia
meneruskan pengembaraan intelektualnya ke Tilimsan selama lima tahun.
Pada tahun 1186 (1772 - 1773), dia menuju Hijaz untuk
menunaikan ibadah haji, dan meneruskan belajar di Makkah dan Madinah. Di dua
kota Haramain ini, dia lebih banyak memfokuskan diri untuk berguru kepada
banyak tokoh tarekat sufi dan mengamalkan ajarannya. Di antara tarekat yang
dipelajarinya, misalnya Tarekat Qadiriyah, Thaibiyah, Khalwatiyah, dan
Sammaniyah. Di Madinah dia belajar langsung kepada seorang tokoh sufi, Syekh
Muhammad bin Abdul Karim as-Samman, pendiri tarekat Sammaniyah, yang
mengajarinya ilmu-ilmu rahasia batin. Kemudian dari Makkah dan Madinah, dia
menuju Kairo dan menetap untuk beberapa lama di sana. Pada tahun 1196 (1781 -
1782), atas saran dari seorang syekh sufi yang baru dikenalinya, dia kembali ke
Tilimsan untuk mendirikan tarekat sendiri yang independen. Di sana at-Tijani
mengadakan khalwat khusus, yakni memutuskan kontak dengan masyarakat sampai
mendapatkan ilham (fath/kasyf).
Dalam fath yang diterimanya, dia mengaku bahwa hal itu
terjadi dalam keadaan terjaga. Ketika itu, Nabi SAW mendatanginya dan
memberitahukan bahwa dirinya tidaklah berhutang budi pada syekh tarekat mana
pun.
Karena menurut dia, Nabi sendiri-lah yang selama ini
menjadi pembimbingnya dalam bertarekat. Selanjutnya, Nabi SAW menyuruh dia
untuk meninggalkan segala sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya berkenaan
dengan tarekat. Bahkan dia juga diberi izin untuk mendirikan tarekat sendiri
disertai wirid yang mesti diajarkan kepada masyarakat, yaitu istighfar dan
shalawat yang diucapkan masing-masing sebanyak 100 kali.
Setelah kejadian itu, ia kembali ber'uzlah di padang pasir
dan berdiam di oase Bu Samghun. At-Tijani tampaknya menghadapi tekanan dari
kaum otorita Turki. Di tempat inilah ia menerima ilham yang terakhir
(1200/1786).
Dalam fath ini Nabi SAW memberikan tambahan wirid, yaitu
tahlil yang harus diucapkan sebanyak 100 kali. Nabi SAW juga mengatakan bahwa
at-Tijani adalah penunggu yang akan menyelamatkan hamba Allah yang durhaka.
Pada tahun 1213/1798, dia meninggalkan 'uzlahnya dari padang pasir dan pindah
ke Maroko untuk memulai menjalankan misi yang lebih luas lagi, dari kota Fes.
Di kota ini dia diterima baik oleh penguasa Maulay Sulaiman dan tetap tinggal
di sana sampai wafatnya pada 22 September 1815, dalam usia 80 tahun.
Meskipun dia banyak bertarekat dan menjadi muqaddam
khalwatiyah (at-Tijani mempunyai silsilah Khalwatiyah), tetapi pada
perkembangan selanjutnya, yakni setelah menjalani hidup sufistik secara ketat
dan keras, dia kemudian mendirikan tarekat yang independen, yang diyakini atas
izin Nabi SAW.
Tarekat yang didirikan at-Tijani ini agak unik dan sedikit
banyak berbeda dengan tarekat-tarekat lain terutama soal silsilahnya. Misalnya
dari Syekh Ahmad, sang pendiri, langsung kepada Nabi SAW, melintas jarak waktu
12 abad. Begitu juga anggota tarekat ini bukan hanya tidak dibenarkan untuk
memberikan bait 'ahd kepada syekh mana pun, tetapi juga melakukan dzikir untuk
wali lain dan dirinya serta wali-wali dari tarekatnya. Menurut at-Tijani, Tuhan
tidak menciptakan dua hati dalam hati manusia, dan oleh karenanya tak seorang
pun dapat melayani dua orang mursyid sekaligus.
Lagi pula, bagaimana mungkin seorang salik akan bisa
sempurna menempuh suatu jalan, sedangkan pada waktu bersamaan ia juga sedang
menampuh (mengambil) jalan lain?
Sejak tinggal di kota Fes ini, at-Tijani lebih
berkonsentrasi pada pengembangan tarekatnya sendiri. Sebagai seorang syekh
tarekat yang berpengaruh dia berkali-kali diajak oleh penguasa negeri itu untuk
bergabung dalam urusan politik. Namun, dia tetap menolak. Sikapnya inilah yang
membuat dia semakin disegani, dicintai, dan dihormati, baik oleh penguasa
setempat maupun oleh masyarakat sekitarnya. Lebih dari itu, pihak penguasa
Maulay Sulaiman, meski permintaannya ditolak, tetap memberikan berbagai hak
istimewa kepadanya.
Semula tarekat yang dipimpin at-Tijani ini mendapatkan
pengikut di Maghribi karena kecamannya terhadap ziarah ke makam para wali dan
mawsin yang populer pada waktu itu. Namun karena perekrutan untuk menjadi
muqaddam yang ditetapkan oleh at-Tijani agak longgar, misalnya dengan menunjuk
sebagai muqaddam-muqaddam siapa pun yang melakukan bai'at, tanpa mengharuskan
latihan selain dalam hukum dan aturan-aturan ritual, dengan tekanan utama pada
ditinggalkannya semua ikatan dengan syekh-syekh lama kecuali dirinya. Sehingga
setelah at-Tijani wafat, agen-agen tadi telah tersebar luas dan dengan sebuah
sistem yang mendukungnya membuat dia mempunyai kekuatan penuh. Tarekat ini
dengan segera menyebar luas dari Maghribi hingga Afika Barat, Mesir dan Sudan.
Aktivistas gerakan Tarekat Tijaniyah terbukti sangat
positif dan militan. Seperti halnya para pengikut tarekat Qadariyah dan
Syadziliyah, para murid tarekat ini berjasa menyebarluaskan Islam ke berbagai
kawasan Afrika.
Menurut Coppolani, mereka menyiarkan Islam di kalangan
pemeluk animisme dengan persaudaraan-persaudaraan sufi lainnya dan berada di
garis terdepan dalam melakukan perlawanan terhadap ekspansi kolonialisme. Dari
at-Tijani lalu diwakili oleh tokoh lainnya seperti al-Hajj Umar di Sudan Barat.
Di Republik Turki, sebuah kelompok kecil penganut Tarekat Tijaniyah, adalah orang-orang
muslim pertama yang secara terbuka menetang rezim sekulerisme sekitar tahun
1950.
Tarekat ini mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun
1920-an, setelah disebarkan di Jawa Barat oleh seorang ulama pengembara
kelahiran Makkah, Ali bin Abdullah at-Tayyib al-Azhari, yang telah menerima
ijazah untuk mengajarkan tarekat ini dari dua orang syekh yang berbeda. Dan,
pada tahun-tahun berikutnya, beberapa orang Indonesia yang belajar di Makkah
menerima bai'at untuk menjadi pengikut Tarekat Tijaniyah dan mendapat ijazah
untuk mengajar dari para guru yang masih aktif di sana.
Ini terjadi setelah serbuan Wahabi kedua terhadap Makkah
pada tahun 1824, dan kebanyakan tarekat lain tidak dapat lagi menyebarkan
ajaran pengkultusan terhadap para wali, tampaknya masih dapat ditolelir.
Di Indonesia, Tijaniyah ditentang keras oleh
tarekat-tarekat lain. Gugatan keras dari kalangan ulama tarekat itu dipicu oleh
pernyataan bahwa para pengikut Tarekat Tijaniyah beserta keturunannya sampai
tujuh generasi akan memperlakukan secara khusus pada hari kiamat, dan bahwa
pahala yang diperoleh dari pembacaan Shalawat Fatih, sama dengan membaca
seluruh al-Quran sebanyak 1000 kali. Lebih dari itu, para pengikut Tarekat
Tijaniyah diminta untuk melepaskan afiliasinya dengan para guru tarekat lain,
yang dalam pandangan syekh pesaingnya dianggap sebagai praktik bisnis yang
culas. Meski demikian, tarekat ini terus berkembang, utamanya di Cirebon dan
Garut (Jawa Barat), Madura dan ujung Timur pulau Jawa sebagai pusat
peredarannya. Penentangan ini baru mereda ketika Jam'iyyah Ahlith-Thariqah
An-Nahdliyyah menetapkan keputusan setelah memeriksa wirid dan wadzifah tarekat
ini. Dan tanpa memberikan pernyataan-pernyataan ekstremnya tarekat ini bukanlah
tarekat sesat, karena amalan-amalannya sesuai ajaran Islam.
Sepanjang tahun 80-an tarekat ini ngalami perkembangan
yang sangat pesat, terutama di Jawa Timur. Respons terhadap perkembangan yang
dicapai tarekat ini menyebabkan pecahnya kembali konflik dengan para guru dari
tarekat lain. Akar konflik ini lebih tertuju kepada persaingan keras untuk
mendapatkan murid dan perasaan sakit hati di kalangan sebagian guru yang
kehilangan banyak murid berpindah ke Tarekat Tijaniyah.
Kepindahan murid-murid dari tarekat lain ke Tarekat
Tijaniyah ini berarti hilang pula murid-murid dari tarekat lain. Karena Tarekat
Tijaniyah sama sekali tidak membolehkan para pengikutinya untuk berafiliasi
lagi kepada syekh tarekat yang dianut sebelumnya.*** Salahuddin
[B]Ajaran dan Dzikir Tarekat Tijaniyah[/B]
Sejauh ini at-Tijani tidak meninggalkan karya tulis
tasawuf yang diajarkan dalam tarekatnya. Ajaran-ajaran tarekat ini hanya dapat
dirujuk dalam bentuk buku-buku karya murid-muridnya, misalnya Jawahir al-Ma'ani
wa Biligh al-Amani fi-Faidhi as-Syekh at-Tijani, Kasyf al-Hijab Amman Talaqqa
Ma'a at-Tijani min al-Ahzab, dan As-Sirr al-Abhar fi-Aurad Ahmad at-Tijani. Dua
kitab yang disebut pertama ditulis langsung oleh murid at-Tijani sendiri, dan
dipakai sebagai panduan para muqaddam dalam persyaratan masuk ke dalam Tarekat
Tijaniyah pada abad ke-19.
Meskipun at-Tijani menentang keras pemujaan terhadap wali
pada upacara peringatan haii tertentu dan bersimpati kepada gerakan reformis
kaum Wahabi, tetapi dia sendiri tidak menafikan perlunya wali (perantara)
tersebut. At-Tijani sangat menekankan perlunya perantara (wali) antara Tuhan
dan manusia, yang berperan sebagai wali zaman. Oleh karena itu, buku panduan
Tijani kalimatnya dimulai dengan, "Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan sarana kepada segala sesuatu dan menjadikan sang Syekh perantara
sarana untuk manunggal dengan Allah". Dalam hal ini, perantara itu tak
lain adalah dia sendiri dan penerusnya. Dan sebagaimana tarekat-tarekat lain,
tarekat ini juga menganjurkan agar anggota-anggotanya mengamalkan ajaran dengan
menggambarkan wajah syekh tersebut dalam ingatan mereka, dan mengikuti seluruh
nasehat syekh dengan tenang.
Tarekat Tijaniyah mempunyai wirid yang sangat sederhana
dan wadhifah yang sangat mudah. Wiridnya terdiri dari Istighfar, Shalawat dan
Tahlil yang masing-masing dibaca sebanyak 100 kali. Boleh dilakukan dua kali
dalam sehari, setelah shalat Shubuh dan Ashar. Wadhifahnya terdiri dari
Istghfar (astaghfirullah al-adzim alladzi laa ilaha illa hua al hayyu
al-qayyum) sebanyak 30 kali, Shalawat Fatih (Allahumma shalli 'ala sayyidina
Muhammad al-fatih lima ughliqa wa al-khatim lima sabaqa, nasir al-haqq bi
al-haqq wa al-hadi ila shirat al-mustaqim wa'ala alihi haqqaqadruhu wa miqdaruh
al-adzim) sebanyak 50 kali, Tahlil (La ilaaha illallah) sebanyak 100 kali, dan
ditutup dengan doa Jauharatul Kamal sebanyak 12 kali.
Pembacaan wadhifah ini juga paling sedikit dua kali
sehari semalam, yaitu pada sore dan malam hari, tetapi lebih afdlal dilakukan
pada malam hari. Selain itu, setiap hari Jum'at membaca Hayhalah, yang terdiri
dari dzikir tahlil dan Allah, Allah, setelah shalat Ashar sampai matahari
terbenam. Dalam hal dzikir ini at-Tijani menekankan dzikir cepat secara
berjamaah. Beberapa syarat yang ditekankan tarekat ini untuk prosesi pembacaan
wirid dan wadhifah: berwudlu, bersih badan, pakaian dan tempat, menutup aurat,
tidak boleh berbicara, berniat yang tegas, serta menghadap kiblat.
Satu hal yang penting dicatat dari dzikir Tarekat
Tijaniyah -- yang membedakannya dengan tarekat-tarekat lain -- adalah bahwa
tujuan dzikir dalam tarekat ini, sebagaimana dalam Tarekat Idrisiyyah, lebih
menitikberatkan pada kesatuan dengan ruh Nabi SAW, bukan kemanunggalan dengan
Tuhan, hal mana merupakan perubahan yang mempengaruhi landasan kehidupan
mistik. Oleh karena itu, anggota tarekat ini juga menyebut tarekat mereka
dengan sebutan At-Thariqah Al-Muhammadiyyah atau At-Thariqah al-Ahmadiyyah,
termanya merujuk langsung kepada nama Nabi SAW. Akibatnya, jelas tarekat ini
telah memunculkan implikasi yang ditandai dengan perubahan-perubahan mendadak
terhadap asketisme dan lebih menekankan pada aktivitas-aktivitas praktis. Hal
ini tampak sekali dalam praktik mereka yang tidak terlalu menekankan pada
bimbingan yang ketat, dan penolakan atas ajaran esoterik, terutama ekstatikdan
metafisis sufi.
Berikut petikan dari kitab As-sirr al-Abhar Ahmad
at-Tijani yang menyangkut berbagai tata tertib, aturan dan dzikir dalam tarekat
ini:
"Anda haruslah seorang muslim dewasa untuk
melaksanakan awrad, sebab hal (awrad) itu adalah karya Tuhannya manusia. Anda
harus meminta izin kepada orang tua sebelum mengambil thariqah, sebab ini
adalah salah satu sarana untuk wushul kepada Allah. Anda harus mencari
seseorang yang telah memiliki izin murni untuk mentasbihkan Anda ke dalam
awrad, supaya Anda dapat behubungan baik dengan Allah.
Anda sebaiknya terhindar sepenuhnya dari awrad lain
manapun selain awrad dari Syekh Anda, sebab Tuhan tidak menciptakan dua hati di
dalam diri Anda. Jangan mengunjungi wali manapun, yang masih hidup maupun yang
sudah meninggal, sebab tidak seorang pun dapat melayani dua mursyid sekaligus.
Anda harus disiplin dan menjalankan shalat lima waktu dalam jamaah dan disiplin
dalam menjalankan ketentuan-ketentuan syari'at, sebab semua itu telah
ditetapkan oleh makhluk terbaik (Nabi SAW). Anda harus mencintai Syekh dan
khalifahnya selama hidup Anda, sebab bagi makhluk biasa cinta semacam itu
adalah sarana untuk kemanunggalan: dan jangan berfikir bahwa Anda mampu menjaga
diri Anda sendiri dari Kreativitas Tuhan Semesta, sebab ini adalah salah satu
ciri dari kegagalan.
Anda dilarang untuk memfitnah, atau menimbulkan
permusuhan terhadap Syekh Anda, sebab hal itu akan membawa kerusakan pada diri
Anda. Anda dilarang berhenti untuk melantunkan awrad selama hidup Anda, sebab
awrad itu mengandung misteri-misteri Sang Pencipta. Anda harus yakin bahwa
Syekh mengatakan kepada Anda tentang kebijakan-kebijakan, sebab itu semua
termasuk ucapan-ucapan Tuhan Yang Awal dan Yang Akhir.
Anda dilarang mengkritik segala sesuatu yang tampak aneh
dalam thariqah ini, atau Penguasa Yang Adil akan mencabut Anda dari
kebijak-kebijakan.
Jangan melantunkan wirid Syekh kecuali sesudah mendapat
izin dan menjalani pentasbihan (talqin) yang selayaknya, sebab itu keluar dalam
bentuk ujaran yang lugu. Berkumpullah bersama untuk wadhifah dan dzikir Jum'at
dengan persaudaraan, sebab itu adalah penjagaan terhadap muslihat syetan. Anda
dilarang membaca Jauharat al-Kamal kecuali dalam keadaan suci dari hadats,
sebab Nabi SAW akan hadir dalam pembacaan ketujuh.
Jangan menginterupsi (pelantunan yang dilakukan oleh)
siapa pun, khususnya oleh sesama sufi, sebab interupsi semacam itu adalah
cara-cara syetan. Jangan kendur dalam wirid Anda, dan jangan pula menundanya
dengan dalih apa pun atau yang lain, sebab hukuman akan jatuh kepada orang yang
mengambil wirid lantas meninggalkan sama sekali atau melupakannya, dan dia akan
menjadi hancur. Jangan pergi dan mengalihkan awrad tanpa izin yang layak untuk
malakukan itu, sebab orang yang melakukan hal itu dan tidak bertaubat niscaya
akan sampai kepada kejahatan dan kesengsaraan akan menimpanya. Anda dilarang
memberitahukan wirid kepada orang lain kecuali saudara Anda dalam thariqah,
sebab itu adalah salah satu pokok etika sains spiritual".
Setiap tarekat memiliki satu atau lebih doa kekuatan
khusus, misalnya Hizb al-Bahr milik Tarekat Syadziliyah, Subhan ad-Daim
Isawiyah, Wirid as-Sattar milik Khalwatiyah, Awrad Fathiyyah milik
Hamadaniyyah, dan lain-lain. Ciri khusu dari dzikir dan wirid yang menjadi
andalan milik penuh tarekat ini adalah Shalawat Fatih dan Jauharat al-Kamal.
Mengenai Shalawat Fatih, at-Tijani mengatakan bahwa dirinya telah
memperintahkan untuk mengucapkan doa-doa ini oleh Nabi SAW sendiri. Meskipun
pendek, doa itu dianggap mengandung kebaikan dalam delapan jenis: orang yang
membaca sekali, dijamin akan menerima kebahagiaan dari dua dunia; juga membaca
sekali akan dapat menghapus semua dosa dan setara dengan 6000 kali semua doa
untuk memuji kemuliaan Tuhan, semua dzikir dan doa, yang pendek maupun yang
panjang, yang pernah dibaca di alam raya. Orang yang membacanya 10 kali, akan
memperoleh pahala yang lebih besar dibanding yang patut diterima oleh sang wali
yang hidup selama 10 ribu tahun tetapi tidak pernah mengucapkannya.
Mengucapkannya sekali setara dengan doa seluruh malaikat, manusia, jin sejak
awal penciptaan mereka sampai masa ketika doa tersebut diucapkan, dan
mengucapkannya untuk yang kedua kali adalah sama dengannya (yaitu setara dengan
pahala dari yang pertama) ditambah dengan pahala dari yang pertama dan yang
kedua, dan seterusnya.
Tentang Jauharat al-Kamal, yang juga diajarkan oleh Nabi
SAW sendiri kepada at-Tijani, para anggota tarekat ini meyakini bahwa selama
pembacaan ketujuh Jauharat al-Kamal, asalkan ritual telah dilakukan sebagaimana
mestinya, Nabi SAW beserta keempat sahabat atau khalifah Islam hadir memberikan
kesaksian pembacaan itu. Wafatnya Nabi SAW tidaklah menjadi tirai yang
menghalangi untuk selalu hadir dan dekat kepada mereka. Bagi at-Tijani dan
anggota tarekatnya, tidak ada yang aneh dalam hal kedekatan ini. Sebab wafatnya
Nabi SAW hanya mengandung arti bahwa dia tidak lagi dapat dilihat oleh semua
manusia, meskipun dia tetap mempertahankan penampilannya sebelum dia wafat dan
tetap ada di mana-mana: dan dia muncul dalam impian atau di siang hari di hadapan
orang yang disukainya.
Akan tetapi kaum muslim ortodoks membantah penyataan
Ahmad Tijani dan para pengikutnya yang menyangkut pengajaran Nabi SAW ini
kepadanya. Sebab jika Nabi SAW secara pribadi mengajari at-Tijani
rumusan-rumusan doa tertentu maka itu berarti bahwa Muhammad telah
"wafat" tanpa menyampaikan secara sempurna pesan kenabiannya, dan
mempercayai hal ini sama dengan tindak kekafiran, kufr.
Tentu saja, alasan kaum muslim ortodoks ini masih bisa
diperdebatkan, misalnya tanpa bermaksud membela tarekat ini dengan
mempertanyakan kembali, apakah betul pengajaran Nabi SAW melalui mimpi itu
berarti mengurangi kesempurnaan kenabiannya? Bukankah substansi dari pengajaran
itu lebih tertuju kepada perintah bershalawat yang masih dalam bingkai pesan
kenabian (syari'at), dan bukan merupakan hal yang baru? Bukankah Nabi SAW
pernah bersabda bahwa mimpi seorang mukmin seperempat puluh enam dari kenabian?
Menyangkut pahala pembacaannya, bukankah rahmat dan anugerah Allah yang tak
terhingga akan tercurahkan kepada umat Islam yang senantiasa mewiridkan
shalawat kepada sang hamba paripurna, kekasih dan pujaan-Nya, Muhammad
Rasulullah SAW?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar