Setiap saat Aku merasa bahwa Neraka diciptakan oleh Allah hanya untukku :: Mencurigai orang yang dikenal baik menjadikan kita berpotensi menzaliminya. Mencurigai orang yang dikenal buruk berpotensi kita tertipu olehnya :: Hanya satu motivasi yang ada, yaitu Allah. Adapun motivasi lainnya harus dalam rangka “karena dan/atau untuk” Allah.:: Surga itu bukan karena amal baik, neraka juga bukan bukti kedurhakaan kepada Allah, melainkan Surga adalah bukti RahmatNya, Neraka karena bukti keadilanNya :: Agama (Islam) bukan sekumpulan aturan dengan ganjarannya. Lebih dari itu agama merupakan wilayah pengungkapan Ilahi melalui Kalam-Nya dengan menggunakan bahasa perumpamaan (tamtsil) dan symbol (ayat) yang bisa dicerna oleh pikiran manusia. Simbol dan perumpamaan itu digunakan Sang Khaliq ketika Ia memperkenalkan dan menyingkapkan Diri-Nya kepada makhluk-Nya. :: Amal baik Manusia tidak akan sampai kehadirat Tuhan jika ia masih mengingat bahwa itu adalah sebuah amal :: Kalau posisimu menjadi paku, sabarlah!, jangan pernah ingin menjadi palu. Jadilah paku yang baik, karena ketika dirimu mampu mengeratkan dengan kuat antara kayu yang satu dengan kayu yang lain, maka tanpa disuruhpun si palu akan berhenti sendiri memukulimu. kalaupun dia tetap memukulimu maka yang kena pukul bukan dirimu melainkan kayunya. sebaliknya jika kamu menjadi palu, cepatlah kamu memanfaatkan posisimu, supaya paku cepat menancap dan kayu tidak pecah. :: Anda akan melihat orang bertaqwa itu: - Selalu bersih walau miskin - Selalu hemat walau sederhana - Kalau beruntung ia bersyukur - Kalau merugi atau diuji dia bersabar - Dia tidak berjalan dengan membawa fitnah - Dia tidak menghabiskan waktu dalam permainan - Dia tidak menuntut yang bukan haknya, tapi tidak menahan hak orang lain - Kalau dia dimaki dia tersenyum, sambil berkata: "Kalau makian anda benar saya mohon semoga Allah mengampuniku", jika makian anda salah saya mohon semoga Allah mengampunimu - Kemanapun dia melangkah dia bersama Allah, kapanpun dia berbicara dengan tuhan dan tuntunan-Nya. :: LEBIH PENTING MENYUCIKAN JIWA DARIPADA MENGISI AKAL DENGAN ILMU. BERSIHKAN JIWA KITA MAKA ILMU AKAN DATANG KEPADA KITA PERSIS SEPERTI SUMUR, JIKA KITA INGIN AIR YG JERNIH, GALI SUMUR ITU, KELUARKAN KOTORAN-KOTORANNYA MAKA DARI DALAM AKAN MEMANCAR AIR YANG JERNIH JAUH LEBIH JERNIH DARI AIR YANG DATANG DARI LUAR. :: BANYAK ORANG YANG MENGATAKAN “IKUTILAH KATA HATIMU”. TAPI TAHUKAH ANDA BAHWA KATA HATI ITU BISA SAJA BERSUMBER DARI MALAIKAT DAN SETAN. JIKA DIA LEBIH MEMILIH KEBIASAAN MENDEKATKAN DIRI KEPADA TUHAN MAKA SEMOGA SAJA KATA HATI ITU BAIK, NAMUN JIKA DIA JAUH DARI TUHAN MAKA BISA JADI KATA HATI ITU BERASAL DARI SETAN YANG BANYAK TIDAK BAIKNYA. MAKA HATI-HATILAH DENGAN KATA HATI ANDA :: ORANG YANG SERING SERIUS AKAN DICANDAI OLEH ORANG-ORANG, ORANG YANG SERING BECANDA AKAN SELALU DISIKAPI DENGAN KAKU OLEH ORANG-ORANG. MANUSIA TIDAK AKAN MENJADI MANUSIA YANG UTUH JIKA HANYA BISA SERIUS ATAU HANYA BISA BERCANDA...LIFE IS FUN HAVING SERIOUS, HAVING FUN IS SERIOUS LIFE:: JIKA SEMUANYA TIDAK PASTI, MAKA SEMUANYA JUGA PASTI MUNGKIN :: ORANG YANG SUKSES BUKANLAH ORANG YANG SERING MENIKMATI KEBERHASILAN, ORANG YANG SUKSES ADALAH ORANG YANG SERING MENGALAMI KEGAGALAN KARENA TERLALU SERING GAGAL AKAN MENDIDIK MANUSIA MENJADI IKHLAS, IKHLAS MENERIMA KEGAGALAN ADALAH KUNCI KESUKSESAN DIRI, PALING TIDAK UNTUK DIRINYA SENDIRI......WHY YOU SO SERIUOS? :: kebanyakan orang yg selalu minta dimengerti adalah pribadi yang TIDAK pengertian. kenapa demikian?..karena dia selalu menyibukkan diri dengan menuntut haknya sedangkan kewajibannya (hak orang lain) ia abaikan... jadilah pribadi yang menyedikitkan menuntut hak dan tidak mengabaikan hak orang lain (kewajibannya), maka dia adalah pribadi yang indah dan penuh pengertian :: BANYAK KEBERHASILAN DIRAIH DENGAN MENYEIMBANGKAN DOA DAN IKHTIAR, DAN KINI BANYAK KETIDAKBERHASILAN KARENA SELALU BERIKHTIAR NAMUN JUSTRU MENINGGALKAN DOA, BERANIKAH MANUSIA MENENTUKAN SEBERAPA BESAR PORSENTASE KEMUNGKINAN DIA BERHASIL TANPA PERTOLONGAN TUHAN??? :: Saya bukan tidak setuju dengan ungkapan HARI INI LEBIH BAIK DARI KEMAREN DAN BESOK LEBIH BAIK DARI SEKARANG. namun saya lebih nyaman dengan ungkapan HARI INI LEBIH HARUS LEBIH BAIK DARI KEMAREN DAN BESOK :: Apakah Anda tahu, bahwa ketika kita telah melakukan kesalahan pada detik-detik pertama ada rasa bersalah dalam diri kita, itulah momen bahwa Allah SWT sedang menegur kita untuk segera memperbaiki kesalahan tersebut. Ketika kita abaikan teguran tersebut dan terus larut dalam kesalahan-kesalahan maka hilanglah peluang kita untuk mendapat teguran kecuali kita mendapat resiko dengan menerima akibat negatif dari kesalahan tersebut :: Sebaik-baik ucapan adalah Kitab Allah SWT, sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Rasulullah SAW, sebaik-baiknya perkara adalah tengah-tenga, sejelek-jeleknya perkara adalah perkara baru tanpa filterisasi, setiap perkara baru tanpa filterisasi adalah bid'ah, bid'ah adalah kesesatan, kesesatan tempatnya di neraka :: Kesejahteraan Materi itu beda dengan Ketenangan Batin. untuk meraih kesejahteraan materi orang tidak perlu beriman, orang tidak harus sholat. buktinya orang yang tidak sholat banyak juga yang memperoleh kesejahteraan materi, namun pasti tidak mendapatkan ketenangan batin (kalau tidak sekarang, besok dia akan merasa ketidaktenangan tersebut). Jika ia sholat namun masih tidak tenang maka sisahkanlah waktu untuk mengoreksi sholatnya. :: Orang yang malas diwaktu muda akan dipaksa bekerja keras diwaktu tua. Pilihlah jalan hidupmu atau pilihan yang akan memaksamu menentukan hidupmu ::

Sabtu, 08 Desember 2012

Salah Faham terhadap Dunia Sufi



Akidah Sufi Dituduh Menyimpang dari Al-Qur’an dan Sunnah 

Redaksi Sufi menurunkan pledoinya atas kontroversi yang selama ini dituduhkan oleh para pemikir Muslim yang anti Tasawuf. Sejak zaman munculnya dunia Sufi dalam peradaban ilmu pengetahuan banyak kalangan yang menuding Tasawuf sebagai aktivitas yang bertentangan

dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Termasuk para pemikir dewasa ini, khususnya Abdurrahman Abdul Khaliq dalam bukunya Al-Fikrus Shufi, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul, “Penyimpangan-Penyimpangan Tasawuf.” Buku ini tersebut sangat mendeskriditkan Tasawuf degan penuh emosional dan antipati, dan berpengaruh terhadap gerakan Islam radikal di berbagai negara Islam termasuk di Indonesia. 

Karena itu Redaksi Sufi berusaha meluruskan tuduhan-tuduhan hipokrit tersebut dengan mengangkat kembali fakta, idea, akidah dan syari’ah yang sesungguhnya. Sehigga pemahaman yang dangkal itu berbuntut menjadi tuduhan yang sangat arogan dan membahayakan akidah mereka sendiri.

Di bawah ini akan kita muat secara bersambung hal-hal yang dipersoalkan oleh mereka, sehingga mereka anti tasawuf. Dan Redaksi Cahaya Sufi menurunkan jawaban-jawabannya: 

Akidah Sufistik
Dalam bentuknya yang terakhir akidah tasawuf berbeda dengan Al-Qr’an dan Sunnah dari seluruh sisinya, disebabkan oleh sumber dan penerimaan akidah itu, yakni sumber pengetahuan keagamaan. Dalam Islam akidah ditetapkan hanya Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi dalma tasawuf akidah ditetapkan melalui Ilham, wahyu yang dipercaya oleh para Wali. Hal ini berhubungan dengan Jin yang mereka namanakan dengan makhluk ruhani, atau mi’rajnya ruh ke langit. Lebur dalam Allah dan Injila’ (berkilauannya) cermin hati. Sehingga menurut pengakuan mereka, perkara ghaib tampak seluruhnya bagi wali Sufi melalui kasyf dan mengikatkan hati dengan Rasulullah SAW, karena dalam kepercayaan mereka ilmu-ilmu itu disandarkan pada Rasulullah atau dengan bertemu dengan Rasulullah dalam keadaan terjaga atau mimpi. 

Ketika sumber-sumber itu terbilang banyaknya maka akidah itu sendiri berkembang, berubah-ubah, satu sama lainnya berbeda. Masing-masing menyatakan apa yang didapat dalam Kasyfnya, apa yang tertangkap dalam benaknya, apa yang dikatakan Rasulullah, atau diberikan malaikat atau yang ia lihat sendiri di Lauhul Mahfudz. 

Mengenai Al-Qur’an dan Sunnah para Sufi memiliki penafsuran kebatinan yang terkadang mereka menamakannya tafsir Isyarat. Mereka percaya bahwa setiap huruf dalam Al-Qur’an memiliki makna yang tidak diketahui kecuali oleh Sufi yang mumpuni dan terbuka hatinya. Berdasarkan hal ini para Sufi memiliki keberagaman sendiri yang dalam tataran ushul dan cabangnya berbeda dari agama yang dibawa oleh Rasulullah. 

Berikut ini ringkasan akidah sufi tentang Allah, Rasulullah, Para Wali, Syurga, Neraka, Fir’aun, dan Iblis. Begitu juga keyakinan tentang berbagai syariat. 

Akidah mereka tentang Allah
Seorang Sufi meyakini Allah dengan akidahnya yang beraneka ragam. Diantaranya adalah Hulul (reingkarnasi) seperti mazhabnya Al-Hallaj dan juga Wihdatul Wujud yang mengajarkan ketidakterpisahan antara Khaliq dengan makhluk. Inilah akidah terakhir yang berkembang sejak abad ke III hingga kini. Akhirnya setiap tokoh dan Ulama akidah ini, mencatatnya dalam kitab, seperti Ibnu ‘Araby, Ibnu Sab’in, Al-Tilmasy, Abdul Karim al-Jily, Abdul Ghani an-Nablusy dan juga mayoritas pimpinan Thariqat Sufi kontemporer. 

Akidah mereka tentang Rasulullah
Diantara mereka yang meyakini bahwa Rasulullah tidak mencapai martabat dan kondisi para Sufi. Rasulullah tidak mengetahui ilmu-ilmu para Sufi sebagaimana diutarakan oleh Busthamy, “Kami menyelami lautan yang para Nabi berhenti di pantainya.” Diantara mereka juga ada yang meyakini bahwa Muhammad adalah puncak jagad semesta ini. Dialah Allah yang bersemayam di Atas Arasy. Langit, bumi, ‘Arasy, Kursy, dan seluruh yang ada diciptakan dari Cahaya Muhammad. Dan Muhammadlah yang pertama maujud. Dialah yang bersemayam di atas Arasy Allah. Demikianlah akidah Ibnu Araby dan Sufi sesudahnya.

Akidah mereka tentang para Wali’
Kaum Sufi meyakini wali dengan beragam akidah pula. Diantara mereka ada yang mengutamakan wali daripada Nabi. Pada umumnya mereka menyamakan wali dengan Allah dalam setiap Sifatnya. Allah menciptakan, Menghidupkan, Mematikan, dan Berkuasa atas alam ini. Mereka dalam hal ini membagi golongan wali. Mereka adalah Ghauts yang memegang hukum alam ini, empat aqthab yang yang menguasai empat tiang alam ini dengan perintah ghauts, tujuh abdal, yang masing-masing mengatur satu dari tujuh benua dengan perintah ghauts, dan Nujaba’ yang meyebatr di setiap penjuru untuk mengatur ketentuan-ketentuan makhluk. Mereka juga memiliki dewan, majlis berkumpul di gua hira’ untuk menunggu takdir-takdir. Singkatnya para wali itu ‘alim, keramat, dan sempurna.

Pastinya, konsep demikian berbeda dengan konsep kewalian dalam Islam, yang berdasar pada kebragaman, ketaqwaan, amal shaleh, ibadah yang sempurna kepada Allah, dan sikap fakir atau butuh kepada Allah. Seorang Sufi tidak berkuasa sedikit pun terhadap dirinya sendiri terlebih terhadap orang lain. Firman Allah: “Katakanlah ‘Kami tidak berkuasa mendatangkan suatu kemudaratan kepadamu, juga tidak suatu kemanfaatan.’ (al-Jin 21).

Akidah mereka tentang Syurga dan Neraka
Seluruh Sufi meyakini bahwa mencari syurga adalah upaya yang banyak mengurangi kesempurnaan. Seorang Wali tidak boleh berusaha menuju dan mencari syurga. Sufi yang mencari syurga berarti kurang sempurna. Yang mereka cari hanyalah cinta, ketidakberdayaan di haribaan Allah, membuka tabir keghaiban dan berkuasa atas alam ini. Itulah syurga yag diyakini para Sufi.

Mereka juga meyakini bahwa menjauhi neraka tidak selayaknya dilakukan oleh Sufi yang sempurna. Karena rasa takut akan neraka akan seorang budak. Neraka bagi mereka tidak panas. Bahkan diantara Sufi ada yang bersombong diri, bahwa seandainya ia meludah di neraka, maka akan memadamkannya seperti yang dikatakan al-Busthamy. Adapun Sufi yang berakidah Wihdatul Wujud, diantara mereka ada yang berkeyakinan bahwa neraka bagi yang memasukinya itu nyaman dan nikmat, tidak kurang dari kenikmatan orang yang masuk syurga. Itulah akidah Ibnu Araby, seperti yang ia nyatakan dalam Fushusul Hikam. 

Akidah mereka tentang Fir’aun dan Iblis
Kebanayakan Sufi meyakini bahwa Iblis adalah hamba paling sempurna dan makhluk terbaik dalam hal akidah, karena mereka mempercayai Iblis, tidak bersujud kecuali kepada Allah. Begitu juga Fir’aun bagi mereka adalah orang yang paling baik Tauhidnya. Karena ia pernah berkata, “Akulah Tuhanmu yang tertinggi.” Disini Fir’aun mengetahui hakikat, karena setiap yang maujud itu adalah Allah. Dalam kepercayaan mereka, Fir’aun termasuk orang yang beriman dan masuk syurga. 

Demikian tudingan mereka terhadap kaum Sufi. Dan di bawah ini adalah jawaban atas kesalahpahaman mereka, baik dari segi pemahaman terhadap wacana Sufi, maupun pendekatan pemahamannya, bahkan terhadap substansi penafsiran Al-Qur’an dan Sunnah.
Jawaban Atas Akidah Sufi Tentang Allah

Mereka menuding akidah Sufi berbeda dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bahkan menuding lebih jauh, kalau Akidah sufi kolaboratif dengan pandangan Filsafat Ilmuniasi Yunani, Majusi Persia, Hinduisme dan Nasrani. 

Tentu tudingan bahwa sumber Tasawuf adalah singkretisme ajaran agama-agama dan filsafat Yunani adalah kekeliruan besar. Bahwa dalam dunia tasawuf ada hikmah-hikmah agung dan mengandung filsafat kehidupan yang luhur, sesungguhnya tidak bias dihubungkan-hubungkan dengan tradisi filsafat tersebut secara menyeluruh.

Seperti tradisi musyawarah yang sudah ada di zaman Jahiliyah. Maka ketika tradisi Syura itu di absahkan oleh Islam, sama sekali tidak bias dituduh bahwa tradisi Musayawarah dalam Islam itu bersumber dari zaman Jahiliyah. 

Kalau Nabi Muhammad saw, melakukan tradisi khalwat, tahannuf atau tahannut di gua Hira, sementara kaum Jahiliyin, juga melakukan hal yang sama di tempat terpisah dalam rangka menyucikan dirinya, apakah metode yang ditempuh Rasulullah dalam gua hira itu ditentang oleh ummat Islam bahkan oleh Rasul sendiri? 

Apalagi untuk menggali akidah Islam yang hakiki, tidak bisa melalui pendekatan yang bersifat letere, tekstual dan formal. Sementara istilah akidah itu sendiri di zaman Rasulullah belum muncul sebagai elemen ushuliyah sebagaimana yang kita fahami saat ini. Justru muncul pembagian akademis, dalam ilmu-ilmu Islam, ketika engetahuan dan pengajaran Islam mulai disusun secara sistematis oleh generasi Mujatihdin, Muhadditsin, Mufassirin, dan Mutakallimin.

Banyak ummat Islam terjebak oleh jargon “Kembali pada sumber Al-Qur’an dan As-Sunnah”, dengan cara-cara yang dangkal dan bahkan malah menyesatkan. Misalnya dengan menegaskan segala hal yang tidak tertera secara eksplisit dalam kedua sumber tersebut dianggap menyesatkan. Kemudian mereka bersikeras mengikuti jejak Nabi secara ketat dengan formalitasnya belaka, sedangkan aspek kedalaman jiwa (ruh)nya hilang sama sekali, sehingga Islam tampak kaku, keras, dan radikal. 

Padahal dalam amaliyah Islam Rasulullah saw, membagi tiga: Islam, Iman dan Ihsan. Islam yang kelak berhubungan dengan ibadah syari’ah, penataan aturan-aturan fiqih, dalam rangka menata kehidupan lahiriyah. Lalu disana muncul para fuqoha’, yang menyimpulkan produk hokum Islam melalui Ijtihad. Bahkan untuk membuka pintu Ijtihad ini pun para Ulama sangat ketat aturannya, agar tidak semua orang menafsirkan Al-Qur’an dan as-Sunnah dengan klaim-klaim yang gampangan. Kita bisa bayangkan jika para Mjtahid tidak membuat aturan ketat mengenai syarat Ijtihad, pasti konflik-konflik social akibat perbedaan Ijtihad begitu luar biasa dan malah menghancurkan ummat Islam itu sendiri.

Sedangkan Iman, kelak berpengaruh dalam academia teologi yang popular dengan Ilmu Tauhid. Di kalangan ahli Tauhid sendiri soal-soal yang Sifat dan Asma Allah banyak pandangan yang berbeda. Tetapi perbedaan itu sebatas masalah-masalah yang berkembang yang berinduk pada ushuliyahnya.

Misalnya Allah Maha Esa. Dalam Al-Qur’an Allah menggunakan kata Yang Satu, dengan kata yang berbeda-beda. Misalnya Ahad, Wahdat, Wahdaniyah, Wahid, yang memiliki hubungan yang berbeda-beda. Bahwa Allah Maha Esa itu tidak satu pun yang berbeda pandangan. Namun mengenai interaksi Ahad, Wahdah, Wahid, dengan praktek Tauhid maupun filosufi Ketauhidan akan muncul banyak ragam.

Rupanya kaum formalis yang menolak Tasawuf dengan serampangan saja meng genalisir fakta keragaman kata dalam Al-Qur’an maupun Sunnah, lalu mengklaim apa yang dipandangnya itu sebagai kebenaran mutlak yang tak terbantah sama sekali. 

Ihsan, sebagai praktek dan manifestasi Islam dan Iman dalam kualitas hubungan hamba dengan Allah, sama sekali tidak pernah dibedah secara tuntas oleh mereka yang anti terhadap dunia Sufi. Sebab, hanya akademi Sufisme saja yang menguraikan secara gambling apa dan bagaimana Ihsan itu diterapkan dalam Ubudiyah sehari-hari. Karena tanpa pelaksanaan Ihsan, seorang hamba yang melakukan ibadah sholat hanyalah melaksanakan kewajiban formalnya sholat, sesuai dengan syarat dan rukunnya. Sedangkan kualitas khusyu’ dalam sholat, elemen-elemen kekhusyu’an, maupun nuansa khusyu di depan Allah tidak dikaji tuntas, kecuali dengan mengetengahkan teknik-teknik khusyu’ yang kering.

Apakah jika dunia Sufi membahas masalah khusyu’ dalam sholat maupun di luar sholat menjadi bid’ah dan bertentang dengan Qur’an dan Sunnah? Alangkah bodohnya kita, jika menuduhkajian dunia Sufi sebagai bentuk yang menyimpang dari kedua sumber utama Islam itu. Justru dunia Sufi mendorong seseorang untuk meraih khusyu’ yang hakiki, bukan khusyu’ yang dikhusyu’-khusyu’kan, sementara ia telah gagal meraih sholat Khusyu’. 

Seluruh ajaran Sufi, walaupun sebagian kecil yang minor kita jumpai telah menyimpang dari ajaran Sufi yang benar – sesungguhnya tetap bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Para Sufi sendiri sepakat demikian, dan sebaliknya yang jauh dari Al-Qur’an dan Sunnah malah dianggap bathil. Hanya saja criteria mengenai sesuatu yang menyimpang dan tidak dari Al-Qur’an dan sunnah, maka dunia Sufi lebih dalam lagi dan sulit difahami mereka yang hanya mendang Al-Qur’an dan Sunnah secara formal belaka.

Sementara itu tudingan terhadap Ibnu Araby, al-Bisthamy, Junaid al-Baghdady, Al-Hallaj, Syekh Abdul Qadir al-Jilany, maupun Sufi-sufi besar lainnya, semata karena cara meandang Al-Qur’an dan Sunnah secara berbeda. Perbedaannya ibarat kita memandang cermin. Ada cermin itu buram, ada yang retak dan pecah, ada pula yang bercermin dari samping dan dari balik cermin, tentu semua itu akan gagal memantulkan gambar yang obyektif. Dunia Sufi dengan se gala ragam metodenya, mengajak kita menandang cermin dari arah yang benar dan dengan obyek yang utuh, bahkan berusaha agar cermin tetap bening, bersih dan cemerlang.

Sementara kaum yang anti Thariqat Sufi merasa telah bercermin dengan benar, padahal mereka tidak mengetahui jika cermin yang digunakan itu adalah cermin yang buram, retak, dan cara bercermin yang keliru. Ketika mereka menuding orang lain, sesusungguhnya mereka sedang menuding diri sendiri. 

Kata-kata yang muncul dari para Sufi sesungguhnya harus difahami menurut konsumsi Bathiniyah dari kandung Al-Qur’an dan Sunnah. Misalnya ketika seseorang mempraktekkan Ihsan, “Seakan-akan engkau melihat Allah, dan jika tidak melihatNya, Allah melihatmU,” pastilah menimbulkan pantulan cahaya Ubudiyah yang agung dengan sesuai dengan kondisi psikholohis ruhani masing-masinghamba Allah. Pantulan cahaya Ilahi inilah yang tidak bisa difahami oleh orang yang tidak pernah megalami perjalaan ruhani ke-Imanan dan ke-Ihsanan. 

Mukasyafah atau keterbukaan Rahasia Ilahi adalah Hak Allah yang diberikan kepada yang dikehendakiNya. “Allah berbuat sebagaimana yang dikehendakiNya.” Termasuk menghendaki hambaNya untuk mengetahui yang ghaib, rahasia takdir, dan rahasia alam semesta raya, baik yang fisik maupun yang metafisik.

Diantara rahasia yang dianugerahkan oleh Allah kepada para Sufi adalah mengenal rahasia huruf hijaiyah dalam Al-Qur’an. Sebab, hakikat huruf-huruf itu adalah Asma’ Allah, dipastikan memiliki hubungan korelatif dan apresiatif secara paripurna dengan kehidupan hamba, alam semesta bumi langit seisinya, dan alam akhirat, bahkan Asma’, Sifat, Af’al dan DzatNya. 

Mereka menuduh bahwa kaum Sufi menjauhi Qur’an dan Hadits, lalu mendahulukan mukasyafah. Ini tuduhan yang salah benar, karena seluruh aspek Mukasyafah sesungguhnya merupakan penafsiran dari Al-Qur’an dan Sunnah itu sendiri. Setiap Mukasyafah harus ditimbang dengan Qur’an dan Sunnah, hal demikian sangat popular di kalangan Sufi. Karena itu dalam dunia Sufi, sangat dibedakan mana yang bisikan Jin, Syetan, Malaikat, Ilham, dan yang langsung dari Allah. 

Ibnu Abbas ra, sendiri telah menegaskan bahwa dirinya diberi Ilmu oleh Allah Ta’ala, sebagian bisa disebarkan (publikasi), dan sebagian bila disebarkan justru ia akan dikafirkan dan dibunuh oleh banyak orang. Artinya, aspek Mukasyafah sangatlah individual, dan memang tidak bisa diungkapkan kecuali pada ahlinya atau orang tertentu yang relevan dengan manfaat dunia akhiratnya. 

Merngenai Wihadatul Wujud, Hulul, Al-Faidl (ilmuniasi), sesungguhnya justru tidak ada dalam dunia Sufi. Yang ada adalah Widatus Syuhud. Orang yang pertama kali mengatakan Wihdatul Wujud adalah Ibnu Taymiyah yang memang anti dengan pengalaman Dunia Sufi. Ia menuduh Sufi itu Wihdatul Wujud, sebuah tudingan yang jauh dari pengalaman ruhani Sufistik. Karena Wihdatul Wujud sering diartikan dengan panteisme, sedang konsep Sufi tentang penyatuan hamba dan Allah jauh dari panteisme. Penyatuan itu bersifat ruhani dan musyahadah (penyaksian mata hati, mata ruh dan mata rahasia batin. Bukan wujud fisik. Hal demikian pun diurai secaa lembut melalui kaidah-kaidah Sufi agar tidak menyimpang dari Tauhid, sebagaimana dijelaskan secara rinci oleh Ibnu Athaillah as-Sakandary dalam kitab Al-Hikam. 

Kalau kita membaca Al-Qur’an dengan pandangan kulitnya, formalitas dan penafsiran tekstual belaka, maka kita pun ketika memahami wacana Sufi juga akan terjebak sedemikian rupa. Karena itu dalam tradisi Sufi harus ada Mursyid Kamil Mukammil yang membimbing, agar mereka tidak terkena ghurur (tipudaya) dalam menempuh perjalanan menuju kepada Allah. Tidak begitu mudah orang memahami pandangan Ibnu Araby, Abu Yazid al-Bisthamy, Junaid al-Baghdady, Bisyr Al-Hafy, Syeikh Abdul Qadir al-Jilany, Abdul Karim al-Jily, Al-Hallaj, maupun Abul Hasan asy-Syadzily. 

Bagaimana anda bisa memahami arti tenggelam di lautan, sementara anda belum pernah tenggelam, dan hanya mendengarkan kisah tentang orang tenggelam saja?
Tiba-tiba anda sudah merasa tenggelam?

Tuduhan terhadap Dunia Wali
Mereka menuduh kaum Sufi, dengan suatu tudingan keliru. Diantara tudingan mereka yang kontra pada dunia Sufi, tentang Kewalian antara lain:
  1. Sufi dituduh mengutamakan Wali daripada Nabi.
  2. Para Wali dianggap sama dengan Allah dalam setiap sifatNya, bermula dari salah paham mereka mempersepsi tentang ragam dunia Wali dengan tugas-tugas ruhani masing-masing, seakan-akan tugas itu menyamai tugas Allah.
  3. Para Wali seperti memiliki dewan, majlis, berkumpul di gua Hira untuk menunggu takdir.

Tiga tudingan itulah yang membuat orang salah paham terhadap dunia Sufi.

JAWABAN
Ummat Islam sepakat adanya para Auliya' atau kekasih-kekasih Allah. Bahkan mereka yang kontra terhadap dunia Tasawuf pun memiliki definisi khusus, menurut penafsiran formal mengenai para Wali ini, yang tentu saja berbeda jauh antara langit dan bumi dengan pemahaman kaum sufi.
  1. Kaum Sufi tidak pernah menempatkan derajat para Wali lebih unggul dibanding para Nabi dan Rasul. Para Auliya adalah sebagai pewaris dan pemegang amanah Risalah setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Sebagai Khalifah dan sekaligus juga sebagai pewaris Nubuwwah. Jika, muncul ungkapan-ungkapan kehebatan para Auliya dalam kitab-kitab Tasawuf, sama sekali tidak ada satu pun kata atau isyarat yang menunjukkan keunggulan maqom Auliya' dibanding maqom Ambiya dan Rasul. Semata hanya ingin mempresentasikan jika para Auliya' diberi karomah (hal-hal yang di luar nalar akal rasional) oleh Allah swt, apalagi para Anbiya dan Mursalin.
  2. Para Sufi yang diangkat derajatnya oleh Allah meraih maqom Kewalian atas KehendakNya, diberi anugerah, fadlal dan rahmatNya, menurut kehendakNya. Kesalahpamahan mereka yang kontra terhadap dunia Wali semacam ini bersumber pada fenomena karomah, fenomena hikmah-hikmah terdalam yang tidak bisa dipahami oleh mereka, karena hanya merujuk pada teks Qur'an dan Hadits tanpa mengenal hakikat kedalaman dibalik ayat-ayat Al-Qur'an dan Sunnah itu.

    Apakah anda tega menyalahkan Syeikh Abdul Qadir al-Jilany, Abul Hasan Asy-Syadzily, Hujjatul Islam al-Ghazaly, Ibnu Araby. Al-Bisthamy, Asy-Syibly, Junaid al-Bahgdady, para Imam Mazhab, yang sangat terkenal sebagai para Auliya' Allah, dan sama sekali mereka jauh dari perspesi anda tentang kewalian itu?

    Padahal mereka adalah para penjaga Al-Qur'an dan as-Sunnah, para pelestari tradisi Syariat, Thariqat dan hakikat Risalah Nabi besar Muhammad SAW. 

    Jadi jika ada Istilah Abdal sebagaimana juga pernah disebut oleh Nabi Muhammad SAW, tentu saja, tidak gampang memahami tugas-tugas para Wali itu. Sedangkan siapa pun dalam menjelajah dunia ruhani, metafisika, dunia hakikat senantiasa justru akan dlolalah (tersesat) sepanjang perjalanannya tidak dibimbing oleh Wali yang Mursyid, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an: "Siapa yang sesat (jalan menuju kepada Allah) maka ia tidak akan pernah menemukan Wali yang Mursyid".

    Kriteria Wali Mursyid tentu tidak sesederhana yang mereka pahami. Kata Iman dan Taqwa saja, sangat berlapis-lapis kedalamannya, dan beragam pula wilayah implementasinya dalam dunia jiwa para hamba Allah. Apakah sebegitu mudah orang mengaku menjadi Wali Allah, hanya karena merasa beriman dan merasa bertaqwa dan bahkan mengklaim merasa dirinya beramal shaleh?

    Sedangkan tahap agar hamba Allah bisa bebas dari rasa takut dan gelisah saja sulitnya bukan main. Gelisah terhadap cobaan dunia dan cobaan akhirat, takut terhadap fitnah dunia dan siksa akhirat, pun manusia akan sulit membebaskan psikhologinya. Padahal para Wali itu tidak pernah takut dan tidak pernah susah, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an.
    Inilah yang dipresentasikan dunia Tasawuf sebagai tradisi ilmu-ilmu Islam bidang hakikat, yang juga bisa difahami manaka melalui pendekatan hakikat pula, dengan logika bathiniyah yang suci. Sebab wilayah hakikat bukanlah wilayah rasional empiris, juga bukan wilayah inderawi. Itu pun harus dalam bimbingan mereka yang telah meraih keparipurnaan hakikat sebagai Insan Kamil.

    Karena itu Ibnu Araby, membagi komunitas para auliya’ menurut komunitas kebajikan yang disebut dalam berbagai ayat Al-Qur'an, semisal, komunitas Sholihun, Muhsinun, Shobirun, Syakirun, Dzakirun, Mujahidun, Muttaqun, 'Aminun, Mukhlishin, Mukhlashin, 'Abidun, dan ratusan komunitas Sholeh disana yang tentu saja, merupakan kualifikasi moral yang begitu dalam. Jika Allah menyebutkan suatu kelompok moral, dengan menggunakan istilah tertentu, pasti memilki rahasia tertentu pula. Kata Robb, beda dengan kata Ilah, beda lagi dengan penyebutan yang menggunakan Sifat dan Asma' sepetri Al-Khaliq, Al-Bari', al-Mushowwir, misalnya.

    Munculnya istilah Ghauts, Quthub, Abdal, Nuqaba', Nujaba', tentu memiliki dasar-dasar yang tersirat dalam Al-Qur'an dan Sunnah, dan tugas-tugas amanah kewaliyan mereka tentu Allah sendiri Yang Maha Tahu, yang dengan KemahakuasaanNya, dan Irodah MutlakNya, memberikan wewenang dan tugas khusus. Dan semua tugas itu juga dalam rangka meneruskan amanah Rasul SAW.
  3. Soal adanya dewan para Wali, sesungguhnya juga tidak bisa dipersepsi sebagaimana kita memahami majlis sosial politik, dengan dewan pimpinan tertentu itu, dengan cara pemilihan ketua dewan atau ketua organisasi. Bahwa dalam dunia Kewalian ada hirarki struktural secara ruhani, pasti sangat berbeda hirarki strukturalnya dengan dunia sosial manusiawi. Kalau suatu saat memang ada tugas bermajlis di gua Hira', itu bukan suatu tugas yang bisa dinilai sebagaimana berkumpulnya sebuah majlis PBB atau lainnya. Namun, karena tugas kasuistis, menyangkut perkara moralitas ummat manusia di dunia, bahkan yang hidup maupun yang sudah mati, yang begitu tampak jelas dalam Alam Mukasyafah mereka, melalui Nur Ilahi.

Tetapi wajar jika anda mempersoalkan, adanya kelompok tertentu yang mengklaim dewan para wali, lalu membuat pertemuan alam ghaib, lalu mereka merasa sebagai para wali, padahal tidak lebih dari sebuah tipudaya alam Jin dan Iblis, bisa saja demikian. Karena Iblis dan Syetan pun punya kelompok tandingan Wali yang disebut dalam Al-Qur'an "Auliya' as-Syayathin". Atau para Wali Syetan, yang seringkali menggunakan jubah religius dan keagamaan. Mereka berjubah, tapi penuh dengan kebusukan, ketakaburan, riya' dan 'ujub, hubbud dunya (cinta dunia), penghamba nafsu dan takut mati.

Namun alangkah piciknya kita kalau memahami dunia Wali dari sekadar gelombang sosial ummat atau dari fenomena keagamaan (khususnya di bidang bathiniyah), lalu anda membuat kesimpulan gradual, kesimpulan salah kaprah, sebagaimana para orientalis dan pengamat Sufi yang lebih banyak salah kaprahnya dalam memaknai istilah dan terminologi Sufi itu sendiri.

Syeikh Abdul Qadir Isa
Orang-orang yang menusuk dunia Sufi dalam Islam dan ingin merobohkan bahkan ingin menghancurkan dengan berbagai kedustaan, dengan melemparkannya melalui pandangannya yang sesat terbagi menjadi berbagai kelompok: Ada yang memusuhi karena benci dan dendam pada Islam, ada juga karena kebodohannya terhadap hakikat Tasawuf, lalu mereka terkubang dalam kebodohan yang mendustakan.


Kelompok Pertama:
Adalah musuh-musuh Islam dari kaum Zindiq Orientalis dan anthek-antheknya melalui rentetan perang Salib dan aktivitas kolonialisme yang penuh dendam, semata mereka hanya ingin merobohkan benteng-benteng Islam, menghancurkan rambu-rambu utamanya, dan menebarkan racun permusuhan dengan mengembangkan konflik antar barisan Islam.

Mohammad Asad, salah satu orientalis yang masuk Islam telah membuka kedok mereka dalam bukunya, al-Islam fi Muftariqit Thuruq, ketika membicarakan pengaruh perang Salib.

“Mereka memiliki semangat besar untuk meneliti Islam dalam rangka mengetahui rahasia kekuatannya, agar mereka tahu dari mana pintu-pintu masuknya, dan dari gerbang mana jalan menuju umat Islam untuk merobohkan dan merekayasa keburukannya. Diantara para orientalis itu, yang paling berpengaruh adalah RA Nicholson dari Inggris, Goldziher Yahudi, Louis Massignon dari Perancis dan lainnya.

Di satu sisi mereka menebar racun dalam madu, dan memuji Islam dalam sebagian buku-bukunya agar menarik respon pembaca. Ketika mulai tertarik, mereka membuat pengaruh pada akidahnya, lalu menebar kebatilan dalam hatinya untuk ditaburkan pada Islam, dengan berbagai dosa dan dusta.
Kadang-kadang mereka membuat rincian akademik yang spesifik, bahkan berjubah keagamaan, lalu mengenalkan Tasawuf sebagai ruhnya Islam. Namun di satu sisi mereka menegaskan bahwa Tasawuf itu sesungguhnya warisan dari Yahudi, Nasrani dan Budha. Mereka membuat keraguan pada pembacanya bahwa Tasawuf adalah pandangan yang telah menyimpang dan sesat, seperti pandangan tentang Hulul dan Ittihad, Wahdatul Wujud, dan Wahdatul Adyan.
Kita tahu, dan kita tidak asing dengan tudingan mereka, karena mereka adalah musuh. Karena demikian watak musuh dan pemakar. Kita tidak perlu lagi merinci hujatan mereka, karena kita sudah mengenal watak para musuh dunia Sufi dengan tujuannya yang begitu kotor.

Namun yang memprihatinkan kita adalah mereka yang mengaku sebagai tokoh Islam, tetapi mereka mengadopsi pandangan-pandangan musuh Islam itu untuk dijadikan pegangan demi menusuk Islam dari dalam, yaitu Ruhul Islam dan Mutiara Islam, yang tidak lain adalah Tasawuf. Apakah dibenarkan bagi seorang muslim yang berakal, mengambil pandangan dari musuh-musuh Islam yang kafir demi menusuk sesama saudaranya yang muslim? Maha Suci Allah, sungguh sebuah kebohongan besar.

Kalau saja para orientalis itu benar-benar membela Islam, benar-benar tulus dalam tesis mereka dengan keinginannya memurnikan Islam dari kotoran, kenapa mereka juga tidak memeluk Islam?
Kenapa mereka tidak menggunakan metode muslim bagi pandangan hidupnya?

Kelompok Kedua
Adalah mereka yang bodoh terhadap ajaran hakikat Tasawuf Islam, karena mereka tidak mendapatkan bimbingan dari tokoh Sufi yang benar dan dari kalangan Ulamanya yang Ikhlas. Bahkan mereka mengambil analisa tentang tasawuf dengan pandangan yang mengaburkan, jauh dari kejelasan dan fakta.
Mereka ini terbagi-bagi:
  1. Mereka mengambil pandangan Sufi dari kalangan yang mengamalkan tasawuf secara menyimpang yang mengaku sebagai gerakan Tasawuf, tanpa membedakan antara hakikat Tasawuf yang terang dengan peristiwa-peristiwa penyimpangan tasawuf.
  2. Ada kalangan yang terpeleset karena sesuatu yang ditemukan dalam kitab-kitab Tasawuf, sebagai rahasia tersembunyi, lantas menafsirkan menurut selera mereka tanpa adanya pendalaman hakikatnya, bahkan mereka memahami menurut perspektif mereka sendiri, menurut pengetahuan mereka yang terbatas dan dangkal. Tanpa mereka mau merujuk pada wacana dunia Tasawuf yang terang dan jelas yang tidak melanggar syariat. Mereka tidak menerjemahkan melalui pandangan kaum Sufi sendiri terhadap hal-hal yang tersembunyi itu.

Mereka ini semisal orang yang dalam qalbunya ada penyimpangan dan penyakit jiwa, lalu menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an yang Mutasyabihat dengan penafsiran dangkal mereka yang menyimpang, tanpa mereka memahami ayat-ayat Muhkamat (tegas) dan jelas makna dan tujuannya. Allah Ta’ala berfirman:
“Dialah yang menurunkan kepadamu Kitab, darinya ada ayat-ayat Muhkamat dan disanalah ada Ummul Kitab, dan ayat lain bersifat Mutasyabihat. Sedangkan mereka yang hatinya ada penyimpangan, mereka mengikuti yang kabur dari ayat itu demi menimbulkan fitnah dan meraih rekayasa pemahaman.”

Karena itu agar tidak disalahpahami, sejumlah Ulama Sufi menjelaskan berbagai rahasia Tasawuf dalam kitab-kitabnya, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Araby dalam kitabnya Al-Futuhatul Makkiyyah dan Ar-Risalah oleh al-Qusyairy.
Wallahul Muwaffiq ila Aqwamith Thoriq, wallahu A'lam bish-Showab.

Sumber: 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar