Inilah barnagkali percakapan yang cukup menarik dan patut ditampilkan antara dua orang cendikiawan terkemuka dalam sejarah Islam. Yang pertama adalah Imam Ahmad Taqiuddin Ibnu Taimiah, seorang faqih ternama yang pendapat-pendapatnya diikuti oleh banyak orang, dan yang kedua adalah Imam Ahmad Ibnu Athaillah As-Sakandari, seorang sufi besar penyair yang juga banyak pengikutnya dan guru besar di Al-Azhar. Dua orang pakar dan budayawan yang sexaman dan hampir bersamaan usianya, yang pertama dilahirkan tahun 660 H di kota Harran, Syiria (Wafat 728 H), dan yang kedua dilahirkan sekitar tahun 658 H di Kota Al Iskandariah (Alexandria), Mesir (wafat 709 H).
Juga disebutkan dalam sejarah, bahwa yang pertama adalah “musuh bebuyutan” para sufi, dan yang kedua adalah wakil dan juru bicara para sufi waktu itu. Tak ayal lagi bahwa keduanya merupakan dua tokoh yang saling : “bertentangan” satu sama lain, sebagaimana akan kita lihat dalam tulisan berikut ini.
Kita tahu bahwa Ibnu Taimiah, sang faqih ini selalu
dikenal sebagai pengecam para sufi. Kecaman-kecamannya yang amat pedas itu
dituliskan dalam beberapa risalahnya, bahkan permusuhannya tarhadap para sufi,
menurut sebagian pengamat, kadang-kadang terlalu berlebihan. Namun sebenarnya
juga beliau mengakui, bahwa para sufi abad-abad pertama lahirnya tasawuf tak
lain adalah para mujahid dan pejuang di jalan Allah dan mereka tidak melakukan
sesuatu yang keluar dari Qur’an dan Sunnah.
Jadi sebenarnya ia tidak menolak tasawuf itu sendiri. Hanya saja para sufi di zamannya, menurut beliau, telah banyak menyimpang. Oleh sebab itu kata-kata seperti bid’ah dan syirik sudah biasa ia lontarkan pada mereka, bahkan tuduhan seperti sudah keluar dari Islam dan yang semacam itu telah pula ia lemparkan kepada tokoh-tokoh seperti Al-Hallaj, Al-Bustami, Ibnu Arabi, Ibnu’l Faridh, At-Tilmisani dan lain-lain. Mereka ini disebut sebagai orang-orang yang punya pandangan wahdah, hulul dan ittihad. Namun anehnya, tuduhan-tuduhan yang sama juga dikenakan kepada tokoh-tokoh seperti Abu’l Hasan Asy-Syadzili dan sementara muridnya, meskipun mereka ini sebenarnya jauh dari pandangan wahdah, hulul dan ittihad seperti tadi.
Begitulah, suatu hari di awal-awal tahun 700 H Ibnu
Taimiah berkunjung ke Mesir. Sebagaimana di tempat asalnya Damaskus, di Kairo
pun Ibnu Taimiah terus melancarkan kecaman dan kritik pedasnya terhadap para
sufi. Orang Mesir pun mulai resah dan gelisah. Sejumlah orang mengadu kepada
penguasa, agar Ibnu Taimiah disuruh pulang saja kembali ke tempat asalnya
Damaskus atau ke kota Alexandria, atau kalau tidak ditahan. Ia telah membuat
keretakan dan keresahan dalam masyarakat Mesir Ibnu Taimiah memilih ditahan.
Namun pengikut-pengikut beliau menyarankan agar beliau ke kota Alexandria saja.
Tak lama setelah mereka di Alexandria, mereka dipanggil kembali oleh penguasa
baru ke Kairo.
Sore itu setibanya di Kairo Ibnu Taimiah salat maghrib di
mesjid Al-Azhar. Selesai salat, baru tahu beliau bahwa Ibnu Athaillah telah
makmum di belakangnya. Terjadilah percakapan antara kedua orang penting dan
besar itu, yang kami terjemahkan dari buku Ibnu Taimiah, al-Faqih al Muadzdzab
(lbnu Taimiah, Faqih yang Tersiksa) oleh penulis Mesir Abdurrahman
Asy-Syarqawi.
Ibnu AthaiIIah (IA): “Saya biasa shalat Maghrib di mesjid
Al-Husein dan shalat Isya di sini. Hm... lihatlah takdir Allah. Saya
ditakdirkan untuk menjadi orang yang pertama kali bertemu Anda. Anda
menyalahkan saya hai faqih?”
Ibnu Taimiah (IT): “Saya tahu bahwa Anda tidak bermaksud
menyakiti saya, yang terjadi hanyalah perbedaan pendapat. Hanya saja
orang-orang yang memang sengaja menyakiti saya, sejak hari ini telah lepas dari
diri saya.”
Ibnu Athaillah (IA): “Apa yang Anda ketahui tentang diri
saya hai Syeikh Ibnu Taimiah?”
Ibnu Taimiah (IT): “Saya tahu bahwa Anda seorang yang
wara’, banyak ilmu, cerdas dan jujur, Saya bersaksi bahwa tidak pernah saya
melihat di Mesir maupun di Syam seorang yang seperti Anda dalam hal cinta dan
fana’nya kepada Allah, dan dalam hal ketaatannya terhadap perintah dan
larangan-Nya. Namun bagaimanapun, terjadi perbedaan pendapat. Dan apa yang Anda
ketahui tentang diri saya, sampai Anda menuduh saya sebagai telah sesat karena
saya telah mengingkari istighatsah kepada selain Allah?”
Ibnu Athaillah (IA): “Saya heran kepada Anda hai faqih.
Anda seorang pendukung Sunnah, hafal dan faham terhadap atsar-atsar, sempurna
dalam pemikiran dan pemahaman. Namun Anda telah melancarkan ungkapan-ungkapan
yang orang-orang dahulu dan sekarang menolak menggunakannya, hingga dalam hal
ini Anda telah keluar dari madzhab imam Anda yaitu Imam Ahmad (ibnu Hanbal) dan
madzhab imam-imam lainnya.”
Ibnu Taimiah (IT): “Orang yang fanatik pada madzhab
tertentu, seperti orang yang kecanduan. Tujuan orang yang fanatik kepada suatu
madzhab, agar dengan sendirinya ia bersikap bodoh terhadap ilmu, agama dan
kodrat orang lain. Jadilah ia bersikap dhalim, dan Allah melarang manusia
bersikap bodoh dan dhalim serta memerintahkan ilmu dan keadilan.
Kata Allah: “Dan manusia itu telah mengembannya (amanat),
sungguh dia itu dhalim dan bodoh.” Lihat saja Abu Yusuf dan Muhammad yang kedua
mereka itu murid paling setia dan paling tahu tentang pendapat-pendapat Abu
Hanifah. Mereka itu berbeda pendapat dengan syeikhnya dalam banyak masalah yang
hampir tak terhitung jumlahnya, setelah mereka tahu dari Sunnah dan argumen
yang kuat sesuatu yang memang wajib mereka ikuti. Dalam hal ini mereka tetap
menjunjung imam mereka. Dan saya mengatakan apa yang menurut saya ada dalilnya,
tanpa pura-pura dan tanpa saya kita tak seorangpun dari fuqaha zaman ini ada
yang lebih cinta dan lebih mengikuti langkah Rasulullah dari pada saya. Kalau
saya tahu ada hadits sahit, saya akan mengambilnya dan saya tinggalkan
pendapat-pendapat para imam. Begitu pulalah mereka menasehati diri mereka
sendiri.”
Ibnu Athaillah (IA): “Apa belum tiba waktunya bagi Anda
hai faqih untuk mengetahui bahwa istighatsah itu tak lain adalah wasilah dan
syafa’ah, dan bahwa Rasulullah itu di mohonkan kepada beliau istighatsah,
wasilah dan syafa’ah?”
Ibnu Taimiah (IT): “Dalam hal ini saya mengikuti Sunnah
mulia itu. Dalam hadits sahih dinyatakan: telah sepakat bahwa ayat “semoga
Tuhanmu akan memberimu kedudukan terpuji”, yang dimaksud dengan “kedudukan
terpuji” itu tak lain adalah syafa’ah. Dan Rasulullah tatkala ibu Amirul
Mukminin Ali r.a. meninggal, beliau berdoa kepada Allah di kuburnya: “Allah
yang menghidupkan dan yang mematikan, Ia Maha Hidup dan tidak mati. Ampunilah
bagi ibuku Fatimah binti Asad, luaskanlah baginya kuburnya, demi nabi-Mu dan
para nabi sebelumku. Engkaulah yang Maha Pengasih”. Inilah syafa’ah. Adapun
istighatsah di situ ada syubhat syirik kepada Allah, Oleh sebab itu dilarang,
untuk mencegah perbuatan yang tidak dikehendaki. Kata Allah: “Janganlah kamu
menyeru bersama Allah sesuatu yang lain.” Maha benar Allah. Dan Rasul menyuruh
sepupunya Abdullah ibnu Abbas agar tidak minta tolong kepada selain Allah.”
Ibnu Athaillah (IA): “Semoga Allah memperbaikimu hai
faqih. Adapun nasehat Rasul kepada Ibnu Abbas adalah agar ia mendekatkan diri
kepada Allah dengan amal perbuatannya, bukan dengan kekerabatannya kepada
Rasul. Adapun pemahamanmu bahwa istighatsah itu adalah permintaan tolong kepada
selain Allah dan itu syirik, siapa di antara kaum muslimin yang beriman kepada
Allah dan Rasulnya yang mengira bahwa selain Allah itu bisa melaksanakan qada’
dan qadar, memberi pahala dan siksa? Itu hanya istilah yang jangan hanya
dilihat bentuk tersuratnya saja, dan tak perlu ditakutkan jadi syirik hingga
harus dilarang agar tak terjadi suatu yang tidak diinginkan. Setiap orang yang
istighatsah kepada Rasul, tak lain adalah minta syafa’ah padanya di sisi Allah,
sebagaimana misalnya Anda berkata: ‘makanan ini telah mengenyangkan saya’.
Apakah makanan itu yang mengenyangkan Anda ataukah Allah yang telah
mengenyangkan Anda dengan makanan itu?
Adapun perkataan Anda bahwa Allah telah melarang kita
menyeru selain-Nya, apa Anda pernah lihat seorang muslim yang menyeru selain
Allah? Ayat tadi turun berkenaan dengan kaum musyrikin yang menyeru tuhan
mereka selain Allah. Kalau kaum muslimin istighatsah kepada Nabi Muhammad Saw,
tak lain adalah meminta wasilah, apa Anda perhatikan yang menjadi hak beliau di
sisi Allah dan meminta syafa’ah yang telah dianugerahkan Allah kepadanya.
Adapun pengharaman Anda atas istighatsah karena ia menuju pada syirik, bagaikan
Anda mengharamkan buah anggur karena ia menuju kepada khamr. Atau bagaikan
pengebirian kaum lelaki yang tidak kawin karena itu bisa menuju kepada zina”.
Kedua syeikh itu sama-sama tertawa. Dan Ibnu Athaillah
kemudian melanjutkan:
Ibnu Athaillah (IA): “Saya tahu betapa luas pandangan
syeikh Anda imam Ahmad, dan betapa luas pula cakupan pandangan fiqh Anda.
Membendung ke arah yang tak dikehendaki (sad adzdzari’ah) dalam madzhab Anda
disyaratkan sesuai kondisinya. Yang boleh bisa dilarang apabila mengakibatkan
kerusakan yang kebanyakannya terjadi, seperti pengharaman penjualan senjata
pada zaman di mana banyak fitnah. Atau pengharaman penaikan harga apabila
dibayar secara nyicil, karena ditakutkan menuju riba.
Mengambil makna lahir saja kadang-kadang bisa
menjerumuskan kita kepada kekeliruan, hai faqih. Antara lain pendapat Anda
tentang Ibnu Arabi. Ia seorang imam agama yang wara’. Anda memahami
tulisan-tulisannya secara lahiriah saja. Sedangkan para sufi itu mengatakan
sesuatu sering dengan isyarat dan celotehan rohani.
Kata-kata mereka sering dimaksudkan yang tersirat maka
orang seperti Anda yang pintar, cerdas dan mengetahui baik ilmu bahasa,
hendaknya mencari makna yang tersembunyi di balik kata-kata yang tersurat.
Makna sufi itu seperti roh, dan kata-kata seperti jasad.
Maka carilah di balik jasad agar Anda menemukan hakikat ruh. Lagi pula vonis
Anda terhadap Ibnu Arabi didasarkan atas teks yang sengaja diselipkan oleh
musuh-musuhnya.
Adapun syeikhul Islam Izzuddin Ibnu Abdissalam setelah
memahami tulisan-tulisan syeikh Ibnu Arabi dan memecahkan simbol-simbol,
misteri dan sugestinya, beliau segera minta ampun kepada Allah atas
pendapat-pendapatnya sebelum itu. dan menyatakan bahwa Ibnu Arabi seorang imam
kaum muslimin.
Tentang perkataan Asy-Syadzili, bukan Abul
Hasan Asy-Syadzili sendiri yang mengatakannya, tapi salah seorang muridnya.
Dialah yang berkata tentang Syeikh Ibnu Arabi dan tentang sebagian murid beliau
yang memahami kata-katanya secara kurang benar.
Ibnu Athaillah diam sebentar, kemudian
bertanya:
Ibnu Athaillah (IA): “Bagaimana pendapat Anda
tentang syeikh Anda imam Ahmad Ibnu Hanbal r.a.?”
Ibnu Taimiah (IT): “Imam Ahmad seorang yang
lebih tahu dari orang lain tentang Qur’an. Sunnah. pendapat para sahabat dan
tabi’in. Sebab itu hampir tak terdapat dalam pendapat-pendapatnya sesuatu yang
bertentangan dengan nash, sebagaimana terdapat pada imam-imam lain. Dan tak
terdapat juga pendapat yang lemah, kecuali umumnya pendapat itu bersesuaian
dengan pendapat yang lebih kuat. Juga pendapat-pendapatnya yang berbeda dengan
yang lainnya, ternyata punya beliau lebih unggul, seperti penerimaan kesaksian non-muslim
terhadap kaum muslimin kalau memang diperlukan dan seperti wasiat dalam
perjalanan serta masalah-masalah lain.”
Ibnu Athaillah (IA): “Bagaimana pendapat Anda
tentang amirul mukminin Imam Ali Ibnu Abi Thalib?”
Ibnu Taimiah (IT): “Semoga Allah ridha dan
meridhainya. Dalam hadist sahih Rasulullah pernah bersabda: ‘akulah kota ilmu
dan Ali itu pintunya.’ Dialah pejuang yang kalau bertanding dengan siapapun
selalu mengalahkannya. Maka ia memberi contoh kepada para ulama dan fuqaha
berjuang di jalan Allah dengan lisannya, penanya dan pedangnya sekaligus. Dia
—semoga Allah memuliakan wajahnya— adalah seorang sahabat yang paling andal,
kata-katanya merupakan pelita yang kugunakan menerangi hidupku setelah Qur’an
dan Sunnah. Ah, betapa sedikitnya bekal kita dan betapa panjangnya perjalanan!”
Ibnu Athaillah (IA): “Apakah amirul mukminin
imam Ali r.a. akan ditanya nanti, siapa orang-orang yang telah mendukungnya,
sampai mereka keterlaluan dan menyatakan bahwa Jibril telah keliru dan
memberikan kerasulan kepada Muhammad sebagai ganti dari Ali? Atau tentang
mereka yang mengatakan bahwa Allah telah merasuk ke dalam tubuhnya, hingga
jadilah imam Ali itu Tuhan? Bukankah kaum muslimin telah menyerang dan
memerangi mereka? Dan bukankah para ulama telah menfatwakan agar memerangi
mereka di manapun mereka berada?”
Ibnu Taimiah (IT): “Dengan fatwa inilah saya
telah memerangi mereka di pegunungan Syam sejak lebih sepuluh tahun yang lalu.”
Ibnu Athaillah (IA): “Dan imam Ahmad r.a.
apakah beliau akan ditanya tentang apa yang telah diperbuat oleh sementara
pengikutnya, seperti penggerebegan rumah-rumah, penumpahan khamr, pemukulan
terhadap para penyanyi dan penari. dan pencegatan orang-orang di lorong-lorong
dan jalanan atas nama amar makruf nahi munkar? Apakah beliau berfatwa bahwa
mereka itu harus ditakzir atau dijerakan, dicambuki, dipenjarakan dan diarak
terbalik di atas punggung keledai? Ataukah imam Ahmad r.a. bertanggungjawab
atas perbuatan-perbuatan para awam madzhab Hanbali yang melakukan hal itu
sampai sekarangpun atas nama amar makruf nahi munkar?”
Ibnu Taimiah (IT): “Syeikh Muhyiddin Ibnu
Arabi lepas dari perbuatan para pengikutnya yang menggugurkan
kewajiban-kewajiban agama dan melakukan perbuatan-perbuatan haram. Bukankah
begitu pendapat Anda? Namun ke mana Anda akan menghindar dari Allah, sementara
di antara kalian ada yang berpendapat bahwa Nabi memberikan kabar baik kepada
para fakir, dan bahwa mereka masuk surga sebelum orang-orang kaya. Maka para
fakirpun berjatuhan karena tertarik oleh Allah dan mereka pada merobek pakaian
mereka. Waktu itulah turun Jibril dan berkata kepada Nabi bahwa Allah menuntut
bagian-Nya dari sobekan itu, maka Jibril membawa salah satu pakaian itu dan
menggantungkannya di singgasana-Nya. Oleh sebab itu para sufi berpakaian yang
ada tambalan-tambalannya dan menyebut diri mereka sebagai para fakir.”
Ibnu Athaillah (IA): “Tidak semua sufi
berpakaian begitu. Lihatlah saya yang sedang di hadapan Anda. Ada yang Anda
tolak dari penampilan saya?”
Ibnu Taimiah (IT): “Anda dari orang-orang
syari’ah dan mengajar di Al-Azhar.”
Ibnu Athaillah (IA): “Dan Al-Ghazali juga
imam syari’ah dan sekaligus imam tasawuf ia memasuki hukum-hukum agama dan
sunnah-sunnahnya dengan ruh seorang mutasawif. Dengan metode itulah ia bisa
menghidupkan ilmu-ilmu agama. Kami mengajari para sufi bahwa kekotoran itu
bukan bagian dari agama, dan bahwa kebersihan merupakan bagian dari iman, dan
bahwa sufi yang benar harus membangun qalbunya dengan iman sebagaimana yang
dikenal dalam Ahlus Sunnah.
Sejak dua abad terakhir ini memang muncul di
antara para sufi hal-hal yang Anda ingkari itu, di mana sebagian mereka
mengentengkan ibadah, puasa dan shalat serta berpacu dalam kealpaan kepada
Allah dengan dalih bahwa mereka telah lepas dari belenggu. Kemudian mereka
tidak puas terhadap keburukan-keburukan perbuatan mereka, sampai mereka
menunjuk pada hakikat dan ahwal paling tinggi, sebagaimana yang digambarkan
oleh Al-Qusyairi imam sufi agung itu. Maka beliau mengarahkan kepada mereka
kitabnya Ar-Risalah, menggambarkan jalan sufi kepada Allah yaitu berpegang
teguh pada Qur’an dan Sunnah.
Para imam sufi menginginkan sampai pada
hakikat, tidak dengan dalil rasional yang bisa menerima yang sebaliknya, namun
dengan kejernihan qalbu, olah jiwa dan menjauhkan ilusi-ilusi keduniawian,
hingga seorang hamba tidak disibukkan oleh selain cinta kepada Allah dan
Rasul-Nya. Perhatian yang luhur ini menjadikannya seorang hamba yang saleh,
layak memakmurkan bumi dan memperbaiki hal-hal yang dirusak oleh ketamakan pada
harta dan kegetolan pada gengsi, dan layak berjihad di jalan Allah.”
Ibnu Taimiah (IT): “Kata-kata tadi tertuju
pada Anda, bukan memihak Anda. Al-Qusyairi tatkala melihat pengikutnya sesat,
ia bangkit menyadarkan mereka. Namun apa yang dilakukan oleh para syeikh sufi
di zaman kita sekarang ini? Saya hanya menginginkan agar para sufi melangkah di
jalan para salaf yang agung itu, yaitu para zahid sahabat, tabi’in dan yang
mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya. Saya menghormati mereka yang berbuat
demikian dan menurut saya mereka itu termasuk para imam agama. Adapun
membuat-buat dan memasukkan ide-ide animistis dari para filosof Yunani dan
budhisme India, seperti pretensi hulul, itthad, wahdatul wujud dan yang semacam
itu sebagaimana diserukan oleh sahabat Anda, jelas itu merupakan kekafiran yang
nyata.”
Ibnu Athaillah (IA): “Ibnu Arabi seorang
fakih dhahir terbesar sesudah Ibnu Hazm. Fakih Andalus yang Anda hormati. Namun
dalam hakikat ia menempuh jalan batin, yaitu penyucian perangkat-perangkat
batin. Dan tidak semua ahli batin itu sama. Agar Anda tidak tersesat dan tidak
lupa. bacalah kembali Ibnu Arabi dengan pemahaman baru atas simbol-simbol dan
sugesti-sugestinya. Anda akan menemukannya seperti Al-Qusyairi yang mengambil
jalannya ke arah tasawuf di bawah naungan Qur’an dan Sunnah. Ia juga seperti
hujjatul Islam Syeikh Al-Ghazali yang menolak pertengkaran-pertengkaran madzhab
dalam aqidah dan ibadah dan menganggapnya sebagai urusan yang tak ada artinya,
serta menyerukan agar cinta kepada Allah itulah yang mendasari jalan pengabdian
di dalam iman. Ada yang Anda ingkari dalam hal ini hai faqih? Ataukah Anda
mencintai perdebatan yang mengoyak-ngoyak ahli fiqh?
Imam Malik r.a. pernah memberi peringatan
terhadap perdebatan dalam aqidah ini, dan kata beliau: “Setiap ada orang yang
lebih pintar dalam berdebat dari yang lainnya, jadi berkuranglah agama.” Dan
AI-Ghazali berkata: “Ketahuilah bahwa yang berjalan menuju Allah untuk
memperoleh kedekatan dari-Nya adalah qalbu, bukan badan. Qalbu yang dimaksudkan
bukan gumpalan daging, melainkan salah satu misteri Allah yang tidak bisa
ditangkap oleh indera. “Ahlussunnah itulah yang menjuluki Al-Ghazali syeikh
para sufi itu dengan hujjatul Islam, dan tak ada satu kritik pun atas
pendapat-pendapatnya. Bahkan ada yang keterlaluan dalam menilai kitab Ihya’
Ulumiddin dan berkata: ‘kitab Ihya’ itu hampir saja jadi Al-Qur’an.’”
Adapun pelaksanaan kewajiban-kewajiban agama,
menurut Ibnu Arabi dan Ibnu’l-Faridh merupakan ibadah yang mihrabnya adalah
batin, bukan ritus-ritus lahiriah. Apa artinya berdiri dan duduk Anda dalam
shalat, kalau qalbu Anda sibuk dengan selain Allah? Allah telah memuji
orang-orang dengan sabda-Nya: “Dan mereka yang dalam shalatnya pada khusyuk.”
Sebagaimana Dia mencela orang-orang dengan firmanNya: “Dan mereka yang dalam
shalatnya pada lalai.” Itulah yang dimaksud oleh Ibnu Arabi dengan kata-katanya
:
“Beribadah itu mihrabnya adalah qalbu,” yaitu
yang batin, bukan yang lahir. Seorang muslim tak akan sampai pada penghayatan
ilmu’l-yaqin dan ainu’l-yaqin, kecuali setelah mengosongkan qalbunya dari hal-hal
yang mericuhnya seperti ketamakan pada kehidupan dunia, dan memusatkan diri
pada perenungan batinnya, hingga dirinya akan terguyur oleh limpahan hakikat.
Dari sinilah tumbuh kekuatannya. Maka sufi yang sebenarnya bukanlah yang
melolongi kekuatannya dan minta-minta kepada orang lain. Melainkan yang benar
jujur, memberikan ruh dan qalbunya serta fana di dalam Allah dengan
mentaati-Nya. Dari sinilah tumbuh kekuatannya dan tiada takut kepada selain
Allah.
Mungkin Ibnu Arabi dimusuhi oleh sementara
fuqaha, karena beliau meremehkan perhatian mereka terhadap perdebatan dalam
aqidah yang mencemari kejernihan qalbu. Juga pendapat-pendapat beliau tentang
cabang-cabang fiqh dan perkiraan-perkiraannya, sampai ia menjuluki mereka
fuqaha haid dan saya mohon perlindungan Allah agar Anda tidak termasuk mereka
itu. Pernahkah Anda membaca pernyataan Ibnu Arabi: “Barangsiapa yang membangun
imannya dengan argumen-argumen dan dalil-dalil, maka imannya tidak bisa
dipercaya. ia bisa terpengaruh oleh bantahan-bantahan orang. Keyakinan itu
tidak bisa tumbuh dari dalil-dalil rasional, melainkan ditimba dari
kedalaman qalbu.“ Pernahkah Anda membaca kata-kata yang jernih dan nyaman itu?”
Ibnu Taimiah (IT): “Demi Allah Anda
telah berbuat yang paling baik. Kalau sahabatmu itu seperti yang Anda katakan,
maka dialah orang yang paling jauh dari kekafiran. Akan tetapi kata-katanya
tidak mengandung arti-arti yang demikian.”
Ibnu Athaillah (IA): “Ia punya bahasa khusus
yang penuh dengan isyarat, simbol, sugesti, misteri dan kelokan-kelokan. Namun,
marilah kita kerja yang lebih berguna, yang bisa memenuhi kemaslahatan umat.
Mari kita cegah kedzaliman dan jaga keadilan jangan sampai dilanggar. Anda
sudah tahu apa yang telah diperbuat oleh dua orang fasik Bibris dan Salar itu
terhadap rakyat jelata, sejak An-Nasir mengundurkan diri dan mereka berdua jadi
penguasa tunggal? Sekarang Sultan An-Nasir telah kembali, mempercayai dan mau
mendengarkan anda. Maka cepatlah datang kepadanya dan nasehati beliau.”
Begitulah percakapan antara dua orang imam besar
itu. Dan sebagaimana kata Ibnu Taimiah: “Saya hanya menginginkan agar para sufi
melangkah di jalan para salaf yang agung itu, yaitu para zahid sahabat, tabi’in
dan yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya. Saya menghormati mereka yang
berbuat demikian dan menurut saya mereka itu termasuk para imam agama.”
Mudah-mudahan kita bisa mengambil pelajaran
darinya.
====
SUMBER: SufiNews
* Ibnu Taimiyah adalah tokoh yang menolak amalan Zikir seperti Jamiyah Thoriqoh sedangakan Ibnu Athoillah adalah Tokoh Aliran Thoriqoh Syadziliyah
Luar biasa dialognya bikin hati terenyuh
BalasHapusbegitulah pak, mereka memang dilahirkan untuk menuntut umat,,,btw, cenderung yang mana nih?...Ibnu Taimiyah atau Ibnu Athaillah?..:)
Hapus