Kita sering berkata: “Kalau
tidak karena aku, maka tidak akan berhasil...”. Ungkapan ini sangat
sederhana tapi ia sangat berpengaruh besar dalam kehidupan terutama dalam
rangka memaknai apa hakekat diri eksistensi kita muncul dan hidup dipermukaan
bumi ini.
Kita sering sulit untuk mengindari
mengunggulkan diri kita mengenyampingkan orang lain Kita terlalu gampang
berkata, bahwa diri kitalah yang punya wewenang penuh untuk bertindak dan
mencapai hasil. Kita juga. Dan yang lebih parah lagi kita sering beranggapan
kita berkuasa atas diri kita dan melupakan kuasa Tuhan.
Kita kadang tanpa sengaja sering
heran seraya berkata: “kok bisa terjadi begitu?”. Ungkapan ini juga
secara tidak langsung telah meragukan kuasa Tuhan yang tanpa diragukan lagi
mampu berbuata apa saja yang Dia kehendaki. Ini terjadi karena manusia memang
terlalu memanjakan dengan sesuatu yang zahir sedangkan yang tak tampak terlalu
mudah untuk diabaikan. Kita sering mengfungsikan Mata zahir kita untuk melihat
yang tampak dan membutakan mata bathin untuk melihat keluhuran yang lebih
urgensi. Telinga kita selalu diperdengarkan untuk mendengar sesuatu yang
berbunyi namun melupakan suara-suara bathin yang lebih pentung untuk
didengarkan. Hidung manusia memang lebih suka mencium bau-bauan lahir dan
enggan mencium bau-bauan secara zahir yang kualitasnya sebenarnya lebih harum.
Ketika hidup tidak lagi
menghadirkan kehadiran Tuhan pada setiap gerak nafasnya, ketika Tuhan bukan
lagi peran Tuhan dalam setiap gerak tubuh dan perilaku yang ia lakukannya. Maka
sejak saat itulah ia sebenarnya sudah mendeklamasikan dirinya bahwa ia telah
menghakimi Tuhan. Bentuk penghakiman yang jelas dan tanpa kita sadari sering
kita praktekkan adalah melanggengkan teori ‘sebab-akibat’. Ini maksudnya kita
beranggapan diri kita sudah lahir memang dibiasakan dengan setiap akibat yang
terjadi dilatarbelakangi oleh sebab. Manusia bisa kaya sebab ia rajin bekerja,
orang mampu menjadi ilmuan adalah sebab giat belajar, dan akibat-akibat lain selalu dilatabelakangi
oleh sebab dan sebab, begitu seterusnya.
Ketika ahli psikologi mainstreem
berkembang pada awal ilmu ini menjadi sebuah disiplin ilmu yang mendiri setelah
melepaskan dirinya dari filsafat muncul aliran yang behaviourisme yang didalangi
oleh psikolog berkebangsaan Swedia, JB. Watson dan teman-temannya. Aliran ini
menitikberatkan setiap perilaku manusia pasti ditimbulkan oleh
kebiasan-kebiasan masa lalu. Kebiasan-kebiasan yang terjadi pada masa lalu
itulah yang menjadi penyebab terjadi perilaku masa sekarang dan akan datang.
Secara praktek bisa jadi teori
menemukan kebanarannya, karena memang begitulah yang terjadi. Dalam Islam ini
disebit dengan Sunnatullah. Namun yakinlah!, sebab adalah makhluk Tuhan,
akibat juga makhluk Tuhan. Tuhan bisa saja tanpa kesulitan menjadikan sesuatu
dengan sebab tertentu pada masa lalu dan bisa juga yang terjadi saat ini itu
tanpa sebab di waktu lalu sama sekali. Tuhan bisa menjadikan orang kaya tanpa
bekerja kalau Dia berkehendak, Tuhan juga mampu memintarkan orang dalam hal-hal
tertentu walaupun ia tidak belajar sama sekali, dan begitu seterusnya. Ini
bukti bahwa sebenarnya sebab hanyalah kebiasaan yang diajarkan Tuhan kepada
makhluk untuk senantiasa berusaha dan berdoa, ikhtiar dan akibatnya dipasrahkan
kepada Tuhan. Karena apapun tidak akan terjadi tanpa seizin Tuhan.
Kesalahan fatal yang sering
terjadi dan tanpa kita sadari adalah Tuhan yang selalu diposisikan seperti
makhluk, Tuhan punya kekuatan yang maha dahsyat bagai ksantria yang sakti mandraguna,
pintar dan berkuasa seperti ilmuan dan penguasa jagat raya. Pemposisian diri
Tuhan yang seperti ini bisa jadi manusia sudah terbiasa menggunakan nalar dan
mangkalkulasikan setiap kejadian. Kita mungkin lupa ada sesuatu yang tanpa
dijangkau oleh nalar kita. Sesuatu yang bersifat transendental yang menjadikan Tuhan
itu tidak bisa sama sekali dianalogikan seperti layaknya makhluk hidup. Tuhan
itu Maha Agung yang keagungan kekuasaannya tidak bisa disamakan dengan
keagungan sang raja penguasa dinasti-dinasti masa lalu. Kepintarannya tidak
bisa juga dianalogikan seperti kepandaian seorang profesor paling pintar
sedunia.
Sikap, maindset, perilaku,
anggapan yang terlalu sembrono begini sebenarnya adalah penghambat utama akan
adanya Tuhan hadir dalam kehidupan kita. Tuhan diperlakukan hilang,
padahal sebenarnya Tuhan tidak pernah pergi kemana-mana, Tuhan ada dimana-mana,
Tuhan lebih dekat dari urat leher kita, bahkan Tuhan hadir di aliran-aliran
darah dalam tubuh kita. Tuhan tidak pernah hilang justru kita sendirilah yang
sering melarikan diri dari Tuhan.
Jadi, jangan pernah merasa Tuhan
memperlakukan tidak adil ketika ketidakenankan hidup melanda hidup kita, jangan
pernah beranggapan bahwa Tuhan telah menakdirkan ketidakbaikan hidup. Karena
sebenarnya kita sendirilah yang suka lalai dalam melayani Tuhan, kita sering
lupa mengingat-Nya, kita sering mengabaikan perintah-Nya dan melanggar
larangan-Nya, kita sering mengacuhkan kasih dan sayang-Nya.
Kita belum terbiasa melepaskan
setiap perbuatan yang menurut kita ada peran serta dalam kegiatan itu dan
kemudian memurnikan semuanya sepenuhnya kuasa Tuhan yang dititipkan kepada kita
sehingga kita diberi kuasa untuk melakukan hal tersebut. Kita sangat sulit
untuk meyakinkan diri kita ketika kita berusaha, kerja untuk mendapatkan materi
dan kemudian kita menjadi berhasil dan kaya untuk mengatakan; “Bukan usaha
dan kerja keras saya yang menjadikan saya berhasil dan kaya, melainkan
sebenarnya Tuhan lah yang menganugrahkan kekuatan, kemampuan, keahlian,
kesempatan sehingga dengan itu usaha saya menjadi berhasil...”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar