Allahu Akbar 3x Walillahi ilhamd...
Dengan semangat
idul Fitri marilah kita menjaga dan meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah
SWT. Semoga dengan taqwa hati, pikiran dan perilaku kita selalu terjaga dalam
Iman kepada Allah SWT, Amin.
Ingatlah,
bahwasanya Allah SWT telah mensyariatkan kepada kita pertemuan dan perkumpulan
untuk beribadah untuk waktu-waktu tertentu, ada yang sehari semalam 5x yaitu
jamaah sholat fardhu, ada yang seminggu sekali yaitu sholat jumat, ada yang
setahun sekali yaitu sholat id seperti saat ini.
Hikmah dari itu
semua adalah untuk menyadarkan kita akan pentingnya menjaga hubungan baik,
saling menyayangi dan tidak putus hubungan kita, agar hati-hati kita tetap
bersatu dan tidak bercerai-berai. Karena dengan persatuan hati kita menjadi kuat
dan dengan bercerai-berai hati kita menjadi lemah. Komunitas kaum beriman
berbeda dengan komunitas orang-orang munafik.
Allahu
Akbar 3x Walillahi ilhamd...
Minal
Aidin wal Faizin. Demikian harapan dan doa yang sering kita ucapkan kepada
sanak keluarga dan handai tolan saat Idul Fitri tiba. Tapi apakah yang dimaksud
dengan ungkapan ini?. Sayang kita tidak menemukan bentuk lafafz minal aidin
dalam Al Qur’an, namun dari segi bahasa minal aidin berarti semoga
kita termasuk orang-orang yang kembali. Kembali disini tentunya kembali
kepada kondisi fitrah yakni asal kejadian, atau kesucian, atau agama yang
benar.
Sementara
lafadz Al faizin terambil dari kata fawz yang berarti
“keberuntungan”. Apakah yang dimaksud dengan keberuntungan itu?. Sebagian besar
makna fawz mengandung makna “pengampunan dan keridhaan Allah serta
kebahagiaan surgawi”. Kalau demikian, hendaknya wal faizin mestinya
dipahami dalam arti harapan dan doa, yaitu semoga kita termasuk orang-orang
yang memperoleh ampunan dan Ridha Allah SWT sehingga kita semua mendapatkan
kenikmatan surga-Nya.
Menarik untuk
kita cermati, kata al fawz 29 kali disebutkan dalam Al Qur’an dan semuanya
berbentuk plural atau jamak kecuali diucapkan sekali dalam Al Qur’an berbentuk
regular atau mufrod yaitu afudzu (saya menang, saya beruntung), itupun
diucapkan oleh golongan munafik,
Marilah kita
cermati ayat 73 surat Annisa,
÷ûÈõs9ur
öNä3t7»|¹r& ×@ôÒsù
z`ÏiB «!$#
£`s9qà)us9 br'x. öN©9
.`ä3s?
öNä3oY÷t/
¼çmoY÷t/ur ×o¨uqtB
ÓÍ_tGøn=»t
àMYä. öNßgyètB
yqèùr'sù #·öqsù $VJÏàtã
ÇÐÌÈ
“Sungguh, jika kamu memperoleh karunia (kemenangan dan harta
rampasan perang) pasti dia berkata seolah-olah belum pernah ada hubungan kasih
sayang di antara kamu dengan dia, "Aduhai" kiranya saya bersama mereka, tentu saya memperoleh keberuntungan
yang besar (kemenangan dan harta rampasan perang)”. (QS. Annisa [4] 73)
Ayat diatas
dilatarbelakangi kelompok munafik yang menyesal karena enggan ikut berperang
bersama kaum muslimin.
orang-orang munafik
tidak tersentuh keimanan yang benar dalam hatinya. Karena itu mereka ingin
menang sendiri, mereka hanya berharap keuntungan secara materi, mereka memang
tidak pernah ingin hidup dalam kebersamaan.
Pelajaran yang
bisa kita ambil disini adalah kita berharap besar dalam Idul Fitri kita meraih
keberuntungan bersama-sama, meraih kebahagian bersama-sama, meraih kemenangan
bersama-sama. Dan Islam tidak pernah mengajarkan individualisme. Bukankah hidup
bersama walau dalam kesusahan akan lebih indah ketimbang hidup sendiri dalam
kesenangan.
Allahu
Akbar 3x Walillahi ilhamd...
Halal
bihalal, dua kata yang sering diucapkan disaat Idul Fitri, ini
adalah istilah keagamaan yang khas di Indonesia namun hakikatnya adalah ajaran
Islam yang tujuannya adalah menciptakan keharmonisan hubungan.
Dari segi
bahasa akar kata halal mempunyai arti yang beraneka ragam sesuai dengan
konteks kalimat yang menyertainya. Makna-makna yang diciptakan oleh kata halal
antara lain berarti “menyelesaikan
problem/masalah”, bisa juga berarti “meluruskan benang kusut”, dan boleh
jadi berarti “mencairkan yang beku”.
Jika demikian,
ber-halal bihalal merupakan suatu bentuk aktifitas yang mengantarkan
pelakunya untuk meluruskan benang yang kusut, menghangatkan hubungan yang
tadinya membeku menjadi cair kembali, melepaskan ikatan yang membelengku, serta
menyelesaikan kesulitan masalah yang menghalangi terjalinnya hubungan.
Boleh jadi
hubungan yang keruh, dan kusut tidak ditimbulkan oleh sesuatu yang haram. Ia
menjadi seperti itu karena kita lama tidak berkunjung kepada seseorang. Atau
ada sikap adil yang kita ambil namun menyakitkan orang lain, atau timbul
keretakan hubungan dari kesalahpahaman akibat ucapan atau lirikan mata sinis
dan kurang bersahabat yang dilakukan
tanpa disengaja. Kesemuanya ini tidak haram menurut pandangan hukum, namun
perlu diselesaikan secara baik; yang beku dihangatkan, yang kusut diluruskan,
yang mengikat dilepaskan, dan yang berserak dihimpun kembali.
Allahu
Akbar 3x Walillahi ilhamd...
Menurut Quraish
Shihab, arah yang dituju dalam halal bihalal mestinya halal yang
toyyibah atau harus disifati dengan sifat Ihsan.
Diceritakan
ketika Mistah yang dibiayai hidupnya oleh sahabat Abu Bakar Asshidiq ikut
menyebarluaskan gosip menyangkut kehormatan Aisyah RA; puteri Abu Bakar
sekaligus isteri Nabi Muhammad SAW. Abu Bakar bersumpah untuk tidak membiayai
Mistah lagi. Tetapi Allah SWT melarangnya lewat surat Annur ayat 22
(#qàÿ÷èuø9ur
(#þqßsxÿóÁuø9ur 3
wr& tbq7ÏtéB
br&
tÏÿøót ª!$# óOä3s9 3
ª!$#ur Öqàÿxî
îLìÏm§
ÇËËÈ
“Hendaknya mereka memaafkan dan
berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampuninya? Allah Maha
pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Annur: 22)
Dari ayat
diatas para ahli tafsir menafsirkan lafadz Al afwu yang berarti maaf
dengan arti menghapus, karena yang memaafkan menghapus bekas-bekas
lukanya. Sedangkan lafadz “Al Shafhu” berarti kelapangan dan dari
lafadz tersebut juga dapat dibentuk lafadz “shafat” yang berarti lembaran
atau halaman serta bisa juga berbentuk lafadz “mushafahat” yang
berarti berjabat tangan.
Jadi, kalau
kita menghubung-hubungkan ayat diatas, dianjurkan jika seseorang yang melakukan
al Shafhu saat idul fitri dituntut ketika berjabat tangan untuk
melapangkan dadanya sehingga mampu menampung segala ketersinggungan serta dapat
pula menutup lembaran lama dan membuka lembaran baru.
Bahkan menurut
Raghib Al Asfihany, lafadz al-Shafhu yang digambarkan dalam bentuk
berjabat tangan itu lebih tinggi
nilainya daripada memaafkan. Bukankah masih mungkin ada satu dua titik yang
sulit bersih pada lembaran yang salah, walaupun kesalahannya sulit dihapus?
Karenanya, bukalah lembaran baru dan tutup lembaran lama dan wujudkan sifat
ihsan yang salah salah cirinya adalah kita mampu memperlakukan semua orang
dengan baik meskipun ada orang yang memperlakukan kita dengan sangat buruk.
Hal inilah yang
insyaallah paling disukai Allah, dan karenanya ulama besar tasawuf Hasan Basri
RA berpesan :
Jika
ada yang memaki kita, janganlah makian itu kita balas, tapi berkatalah: “Jika
makian anda benar, saya bermohon semoga Allah mengampuniku, dan jika makian
anda benar, saya bermohon semoga Allah mengampunimu”
Yang demikian
itulah halal yang thoyyibah dan kesanalah arah yang seharusnya dituju oleh halal
bihalal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar