Kita pernah berkata bahwa perkawinan hendaknya langgeng. Apa yang disatukan oleh Allah sewajarnya tidak diputus. Dalam konteks kelanggengan itulah Allah menyatakan bahwa perkawinan itu adalah “ mitsaqon gholiza ” (ikatan yang sangat kokoh). Dia kokoh karena pengikatnya 3 hal pokok, yaitu: mawaddah, rohmah, dan amanah. Kalau mawaddah putus masih ada rohmah, kalau rohmah putus masih ada amanah dan memang bila hidup tanpa amanah, dan memang kalau hidup tanpa amanah, maka perut bumi lebih baik bagi yang bersangkutan daripada permukaannya.
Tiga tali temali ikatan perkawinan itu kemudian direkat dengan kalimat Allah. Nabi SAW bersabda: “Berbaik-baiklah kalian kepada pasanganmu, karena engkau memperolehnya berkat kalimat Allah dan menjadi halal hubunganmu berkat amanat yang engkau telah terima”.
Kalimat Allah itu luhur, “ Kalimatullahi hiya al ‘ulya ” demikian kata Al-Qur’an. Kalimat Allah itu bercirikan “Shidqan Wa ‘adlan la mubaddila likalimatih” demikian firman Allah. Shidqan berarti:kebenaran dan kejujuran; ‘Adlan adalah keadilan; dan dia tidak ada yang dapat mengubahnya. Dengan kalimat itulah Allah Isa As tanpa ayah, dan menganugerahkan Zakaria As putera Yahya As yang dilukiskan sebagai seorang yang pandai menahan diri, seorang yang terkemuka serta seorang yang dekat kepada Allah. Demikianlah kalimat dan tali temali perkawinan sehingga dia seharusnya langgeng dan selalu didalam kesucian, kebenaran dan sifat asih.
Ikatan terakhir dari perkawinan adalah amanah. Amanah adalah seakar dengan kata iman dan aman. Seorang tidak mungkin akan menyerahkan amanah jika siapa yang diserahi itu tidak dipercaya bahwa barang yang diserahkannya aman ditangannya. Sorang ayah, seorang ibu tidak mungkin akan menyerahkan putera atau puterinya kecuali kepada orang yang dipercaya dan merasa bahwa putera dan puterinya aman bersama pasangannya. Seorang wanita tidak mungkin akan rela meninggalkan ibu bapaknya untuk pergi kepada seorang lelaki yang baru dikenalnya kalau ia tidak percaya kepada siapa yang menyuntingnya.
Amanah dua ciri pokoknya, yakni amanah selalu bersama siapa yang diberi amanah; amanah juga selalu dijunjung tinggi oleh yang menerimanya. Siapa yang tidak ingin selalu bersama memelihara amanah, berarti dia bukan orang yang wajar menerima amanah. Siapa yang tidak menjunjung amanah itu, maka dia juga tidak pantas pula untuk menerima amanah.
Kehidupan suami-isteri yang dijalin oleh mawaddah, rohmah, dan amanah itu menjadikan mereka menyatu, itu sebabnya ikatan perkawinan tidak dinamakan dengan Muamalah melainkan Mu’asyarah. Muamalah itu adalah hubungan timbal balik yang biasanya didasarkan oleh materi, sedangkan Mu’asyarah adalah hubungan yang menyatu yang tidak lagi dapat dipisahkan antara sesuatu dengan yang lainnya karena telah bercampur dan menyatu sedemikian rupa. Orang yang berbisnis melakukan muamalah, seorang yang berjual beli melakukan muamalah, sedangkan perkawinan bukan jual beli, bukan bisnis. Dia adalah suatu ikatan yang luhur, suci, yang menjadikan suami isteri menyatu dalam langkah dan tujuannya, hidup dalam kehidupan yang harmonis.
Ya Allah, Engkau telah menjadikan pernikahan sebagai ikatan suci yang kukuh, maka berkatilah kami dengan pernikahan dan berkati pernikahan itu melalui kami.
Ya Allah, Himpunlah apa yang masih terserak dari kalbu para pasangan, satukan hati dan langkah mereka, satukan tujuan dan harapan mereka.
Ya Allah, lindungilah kami semua dari setan manusia dan jin yang berusaha memisahkan apa yang telah Engkau satukan, yang telah engkau hubungkan, yang berusaha meniupkan di buhul-buhul untuk memisahkan kekasih dengan kekasihnya, suami dengan isterinya.
Wa shallahu ‘Ala Syaidina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wassalam. Walhamdulillahi Rabbil ‘ Alamain.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar