Jika kita baik dengan yang lainnya, yakinlah tidak ada yang akan menyakiti kita bahkan binatang berbisa sekalipun
Ungkapan diatas sewajarnya direspon dengan pro dan kontra; ada yang setuju dan banyak juga yang tidak menyetujuinya. Pihak yang tidak setuju semestinya disikapi sebagai sesuatu yang wajar, pihak yang setuju mungkin mempunyai alasan lain yang dianggapnya sebagai model yang releven dalam berinteraksi dengan yang lainnya. Semuanya kita hargai karena manusia memang selain makhluk yang komplit dengan asesoris yang menempel di jasad dan ruhnya dibanding makhluk lain, dia juga makhluk yang paling banyak resiko dalam hidupnya—ada yang harus ia pertanggungjawabkan baik waktu hidup di dunia apalagi waktu hari pembangkitan di akherat kelak.
Maha Besar Allah yang telah menciptakan manusia begitu indahnya. Ada otak yang berfungsi untuk berpikir, merespon semua stimulus yang masuk kedalam otak tersebut. Stimulus yang masuk ke pikiran (kognitif) lalu di sinkronisasikan dan didiskusikan bersama segumpal daging—kalau kita konkritkan, karena ada sebagian pakar mengatakan bahwa yang dinamakan hati/kalbu bukanlah gumpalan daging yang disebut hati dikalangan medis melainkan hati dalam pengertian abstrak—yang bernama “hati (afektif)”, dan sampai pada sikap dan selanjutnya dibuktikan dengan perilaku (konatif/psikomotor).
Respon otak, hati, perilaku pada stimulus-stimulus yang masuk sangat besar dipengaruhi oleh pengalaman, pendidikan, bacaan atas referensi-referensi, pola asuh orang tua, lingkungan yang membesarkannya sampai teman-teman dekatnya. Semuanya mempunyai kontribusi penting dalam membentuk sikap dan perilaku atas semua kejadian yang dialami pada masa lalu, sekarang dan yang akan datang (bahkan tulisan ini saya tulis pun dipengaruhi hal-hal diatas...jangan komentar dulu ya, biarkan saya berkreasi...^_^).
Perlu diingat bahwa sikap dan perilaku mengecualikan apa yang disebut karekteristik-karekteristik personal yang bersifat genital atau warisan dari gabungan 48 kromosom ibu dan ayah (maaf kalau hitungannya salah). Karekteristik-karekteristik diri seperti cara berjalan, cara makan, gaya bicara, respon tubuh ketika mengalami perubahan emosi dll. Sikap dan perilaku tidak dipengaruhi oleh sifat-sifat bawaan dari orang tuanya; ia dibentuk karena pengaruh pendidikannya, lingkungannya, pola asuhnya dan lain-lainnya seperti yang sudah diutarakan diatas.
Baiklah, kita kembali kepada permasalahan diatas. Banyak kejadian masa lalu yang tidak mengenakkan, menyakitkan, sangat menyiksa batin bahkan menyebabkan traumatik. Kasus-kasus ini terjadi dalam berinteraksi dengan orang-orang disekeliling, bisa terjadi dengan keluarga, kerabat terdekat dan jauh, teman, sahabat, lebih-lebih dengan pacar.
Okelah, kita spesifikkan saja pada kisah jalinan percintaan antara sepasang kekasih berlainan jenis kelamin. Pacar adalah orang yang kita berharap sekali dia lah orang yang pantas akan mendampingi kita melalui menjalani perjalanan hidup sampai mati (saya mengecualikan bagi yang pacaran dengan modal cinta tak tulus dan untuk bersenang-senang belaka). maka carilah kekasih yang berkemungkinan untuk bisa diajak hidup-semati, seia sekata, susah-senang, cintanya tak lekang oleh waktu, tak luntur oleh hujan dan tak kering oleh teriknya panas matahari, demikian untaian dari para pujangga cinta..^_^.
Jika orang yang kita temui kita anggap dialah orang yang tepat yang akan kita jadikan suami/isteri, dia sudah pantas untuk kita baiki, kita sayangi dan cintai. Pada periodisasi awal pacaran 1-6 bulan biasanya dimata kita dia baik, jujur, pengertian, bisa dipercaya dan semua atribut kebaikan melekat dalam dirinya. Namun dikemudian hari ternyata dia berbalik 180 Derajat, semua yang kita nilai baik ternyata berangsur-angsur pudar darinya—aspek ini juga bukan tidak mungkin dia lihat juga dalam diri kita; awalnya kita baik namun lama-lama kita juga akan dianggap membosankan—dan mulai terjadilah percekcokan hingga berujung pada perpisahan. Ada yang lebih menyakitkan lagi ternyata si dia yang kita anggap setia ternyata di kesempatan lain punya orang idaman lain selain kita (selingkuhan), atau tak kalah menyakitkan lagi ketika dalam proses pacaran hubungan tampak baik-baik saja, dia perlakukan kita dengan baik dan kita juga bersikap baik dalam berinteraksi dengannya, namun tiba-tiba ia memutuskan untuk berpisah (dengan seribu alasan yang menurutnya masuk akal walau sebenarnya itu cuma akal-akalan semata). Sangat wajar kalau kita merasa sangat kecewa pada waktu itu, namun kecewalah secara proporsonal sehingga tidak menutupi asa yang akan datang.
Nah, dalam kasus dimana kita bersikap baik dan dalam perjalanannya hubungan tampak baik-biak saja tapi akhirnya berpisah. Ini sebenarnya hal yang mustahil jika putusnya hubungan tersebut tanpa sebab. Tidak akan ada asap jika tidak api, begitu pribahasa mengatakan. Semua keputusan bisa dipastikan ada sebab yang melatarbelakangi. Hanya saja, jika hal yang merugikan tersebut, sering kita sukar menerimanya atau boleh jadi kita lah yang kurang bijaksana menyikapinya. Biasanya, keputusan yang merugikan alasannya sulit kita terima karena kita secara tidak sadar memang sering mengedepankan proses afektif (perasaan, emosi) dan memutus rantai jalur yang terlebih dulu harus kita lewat dan berproses di ranah kognitif. Kalau sudah missing link begitu jangan salahkan kita jika keputusan yang merugikan itu akan membentuk sebuah pengalaman tidak baik yang akan terpendam dalam hati dan akhirnya terbawa hingga masa yang akan datang (akan lama untuk menghilangkannya selama kita masih mengabaikan proses di kognitif tadi).
Bukankah Allah SWT selalu memilihkan yang terbaik buat hamba-Nya. Seringkali sesuatu yang kita kira akan sangat membahagiakan tapi ternyata hasilnya sangat mengecewakan. Boleh jadi, sesuatu yang mengecewakan itulah pilihan yang terbaik. Sebuah analogi kasus ada seorang yang diburu deadline harus berangkat naik pesawat sore ini dari Pekanbaru ke Jakarta. Namun karena macet dijalan menuju bandara sehingga ia terlambat dan ketinggalan pesawat, tatkala dilain waktu ternyata pesawat yang rencana kita tumpangi tersebut meledak dan seluruh penumpangnya tewas. Subhana Allah, itu bukti bahwa pilihan Allah jauh lebih baik dari rencana manusia. Sehingga boleh jadi juga jika kita tidak putus dengan sang kekasih tempo lalu mungkin hari ini kita akan lebih kecewa lagi; bisa saja kalau kita masih berhubungan sampai sekarang kita akan semakin disakiti dimasa yang akan datang. Setiap pilihan ada manfaat dan resikonya, maka kita lah yang harus pandai-pandai memilah-milah mana yang paling sedikit resikonya dan kita berharap sekali semoga itu jugalah yang mendekati pilihan Allah SWT.
Kejadian bahwa kita sering bersikap baik dengan pasangan, kita baiki dia tapi akhirnya dia malah berbalik menyakiti kita sebenarnya hal itu masih relevan dengan prinsip bahwa selama kita baik dengan orang maka hasilnya pasti kita menerima kebaikan, namun harus memenuhi satu syarat yaitu “ikhlas”. Selama kita ikhlas membaiki orang, ada garansi bahwa kebaikan juga akan menghampiri kita (paling tidak Allah SWT pasti akan memberi kebaikan kepada kita walaupun itu tidak secara spontanitas). Ini berarti, jika kita membaiki orang dengan pamrih maka bisa jadi kita menerima kebaikan (untuk sementara) atau akan menerima balasan yang buruk nantinya.
Perbuatan baik dengan ikhlas sebenarnya juga bisa dirasakan oleh tidak hanya manusia namun juga binatang dan tumbuh-tumbuhan. Mereka memang tidak mempunyai akal namun tetap aja ada ruh didalamnya dan hanya Allah yang mengendalikan ruh tersebut. Berbuat baik dengan ikhlas kepada hewan ini juga masuk didalamnya binatang buas. Masih ingatkah kita dengan kisah Ashabul Kahfi dengan seekor anjing, bukankah dalam sejarah literatur Islam dikatakan bahwa pada awalnya semua binatang itu tercipta tidak mempunyai bisa/racun yang tidak mematikan sekalipun. Kalau pun hewan buas yang kita baiki masih saja menyakiti kita, mungkin kita belum siap memperlakukan mereka dengan ikhlas karena masih ada takut dan was-was. Semua makhluk yang diciptakan oleh Allah di alam raya ini tidak ada yang sia-sia, manusia saja yang masih sedikit berhasil menemukan manfaat darinya.
Akhirnya semua kebaikan sumbernya dari Allah, sedangkan kejelekan adalah karena ulah manusia itu sendiri. Namun selama kita masih perprediket “manusia”. Maka keburukan pasti akan tetap melekat diri manusia (kecuali Rasulullah SAW). Oleh sebab itu Islam memberikan tips bagaimana kita mampu meminimalisir kekecewaan waktu menerima keburukan dan memaksimalkan menerima kebaikan dari semua pihak yaitu dengan menanamkan dua prinsip. Prinsip atau sikap mental itu adalah Raja’ (berharap-harap akan nikmat yang kita peroleh saat ini akan berjalan senantiasa lestari); dan Khauf (takut jika suatu saat, kapan saja Allah bisa saja akan mencabut nikmat yang ada dan berbalik menerima keburukan).
Raja’ bermanfaat sebagai motivator untuk menjalankan perintah-perintah Allah, meningkatkan kualitas diri, berbuat baik kepada diri sendiri dan sesama, bergaul dengan baik dan memberikan yang terbaik. Khauf diperlukan disetiap waktu, disetiap aktifitas untuk memback-up keburukan yang bisa saja sewaktu-waktu akan kita terima. Manfaat khauf adalah kita selalu siaga, hati-hati dan jalan untuk mampu menjauhi larangan-larangan Allah SWT.
Semoga kita selalu menanamkan prinsip raja’ dan khauf, berbuat baik dan menerima kebaikan, selanjutnya tetap berusaha ikhlas tatkala menerima setiap takdir keburukan, Amin.
Best regard,
Pencari Makna ZN
Pekanbaru, April 18, 2011/2:00 AM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar